Oleh : Pak
Syam, Penangkar burung Jalak Bali Klaten
Hp.
081280543060, 087877486516, WA. 081280543060, Pin BB. 53E70502, 25D600E9
Seri Ramadhan, session 3
Kicau Mania . . . apa kabar ?
Alhamduuu . . . . .Lillaa h h h . . .
Gimana puasa kan ?
Lapar gaaak ? Lemeeesss . . .gak ? Ya tentu saja lemes ya . . .
Kicau Mania . . . salah satu sifat yang mestinye bisa mengendur
alias turun di bulan ramadhan ini adalah sifat marah. Soalnya orang pada lemes-lemesnya, makanya energy
marah juga ikut lemes. Iya to ?
Di samping itu juga karena setan-setan sedang dibelenggu. Setan
yang berujud manusia, yang biasanya suka jahil hingga memancing emosi kita,
sekarang dia juga sedang lemes, karena juga
sedang berpuasa. Karena si penggoda sedang lemes, yang digoda juga sedang kelaparan
maka frekuensi marah diseluruh dunia selama sebulan ini turun drastis. Tentu
saja ini adalah berita yang menggembirakan. Iya to ?
Ngomong-ngomong soal marah, menurut para kasepuhan marah merupakan
salah satu emosi yang dianugerahkan Allah Swt kepada manusia. Di samping itu
Allah membekali kita dengan berbagai macam emosi lainnya seperti sedih karena
trotolannya mati misalnya, kangen dengan suara murai yang aduhai, kecewa karena
gantangannya gak pernah dilirik juri, berbunga-bunga karena love birdnya juara,
cinta kepada burungnya melebihi cinta kepada anaknya, terbukti anaknya tidak
dibelikan buah tapi cucak rawanya malah dibelikan pisang kapok tiap hari dan lain-lain. Itu semua adalah emosi yang
diberikan oleh Allah kepada kita. Tiap-tiap emosi tersebut memiliki potensi positif
dan dampak negative yang berbeda-beda kadarnya.
Jika dilakukan perbandingan dengan emosi-emosi yang lainnya, emosi
marah memiliki sifat yang khas. Emosi marah menuntut ketersediaan energy yang
tinggi, sifatnya merusak, bisa mendorong orang menjadi pemberani, tidak kenal
takut, tapi sekaligus sangat melelahkan. Bikin kita jadi gampang capek. Namun
begitu, sebagai sebuah emosi, marah diberikan oleh Allah bukan tanpa guna, tapi
dia diberikan sebagai bekal untuk membentuk rasa berani kepada kita.
Misalnya ya. Tiba-tiba dalam sebuah angkutan umum kita melihat ada
seorang nenek-nenek yang dicopet oleh seorang preman terminal yang berbadan
tegap, tangan gede bertato dangan perut yang buncit. Jika dalam kondisi normal
maka, kita akan kecut melihatnya. Namun demi dilihatnya pemandangan yang memilukan
tersebut, dimana nenek-nenek dicopet kantung uangnya, maka serentak kemarahan
kita bangkit. Nah energy marah inilah yang membuat kita jadi berani untuk
melawan preman terminal yang berbadan kekar tersebut. Padahal dalam kondisi
yang normal, baru ngelihatnya saja mungkin kita sudah lari terbirit-birit, apa
lagi harus melawannya. Itulah fungsinya emosi marah. Kita mesti menyalurkannya
dengan cara yang tepat.
Jangan sampai kita saat jengkel kepada murai yang macet dan tidak
mau berkicau, tapi penyalurannya kepada pembantu yang kita tuduh karena salah memberi
pakan. Atau kucing tetangga yang kita gebugi pakai sapu lidi, karena telah
membuat murai kita stress. Jangan begitu la yaa . . .
Bagaimana jika kita terpancing oleh sesuatu, kemudian emosi marah
merembet ke dalam hati kita. Apakah kita harus sabar terus atau kita boleh
melampiaskannya ?
Dalam hal ini Islam memberikan jalan keluar. Pada prinsipnya agama
kita menyarankan umatnya untuk menahan emosi agar tidak marah ketika menghadapi
ketidakpuasan. Namun dalam kasus-kasus tertentu, dimana kita justru menahan
marah terhadap persoalan yang seharusnya kita marah terhadapnya maka hal itu
justru tidak baik.
Misalnya ada anak-anak yang main bola di halaman masjid, ee . .
tiba2 turun hujan. Dasar anak-anak ee . .
. dia malah memindahkan main bolanya dari pelataran masjid ke dalam
masjid. Setelah ditegur malah ngeyel. Nah anak macam begini harus dimarahi. Iya
to ?
Atau anak kandang kita tidak beres. Waktu kita tinggal ke luar kota
kita sudah berpesan agar murai kita dirawat dengan baik. Kroto diberikan setiap
hari. Ternyata pas kita pulang dari luar kota murai kita kelenger karena kurang
gizi. Pas kita tanya dia ngaku bahwa murainya memang tidak pernah diberi kroto
selama sepekan ini karena uangnya habis untuk membeli jajan. Nah anak macam
begini juga perlu diberi pelajaran dengan sedikit kemarahan agar besok tidak
berulang lagi.
Namun jika kita terlalu sering marah yang tidak pada tempatnya,
hal itu bisa menumpulkan hati. Dan hati yangtumpul alias kurang sensitive maka
dia akan menjauhkan kita dari Allah Swt. Misalnya melihat pengemis yang datang
ke rumah sama sekali tidak tergugah hati, bahkan pingin memarahinya. Itulah
contoh hati yang tumpul.
Maka kata para sesepuh, marah pada dasarnya merupakan salah satu alat
yang digunakan oleh setan untuk memperdaya manusia. Apa tujuan setan memperdaya
manusia ? Yaitu agar dia mendapat teman sebanyak-banyaknya di akhirat nanti.
Sebagai muslim beneran tentu saja kita tidak mau diperdaya setan
seperti ini to ? Karena itu, pengendalian diri haruslah senantiasa kita
kedepankan. Kanjeng Nabi Muhammad, sebagai teladan kita, memberikan jalan bagaimana mengendalikan
emosi dengan baik. Saran beliau, “Bila salah seorang dari kamu marah dalam
keadaan berdiri, hendalah duduk, bila kemarahan masih belum hilang hendaklah ia
berbaring.” (HR Ahmad).
Suatu hari saat Kanjeng Nabi Muhammad Saw
melihat seseorang sedang marah besar, beliau bersabda, “Aku akan ajarkan
kalimat-kalimat kalau dia membacanya akan hilang kemarahannya. Kalau dia
mengucapkan A’udzubillahi min as syaithonir
rajiim pasti akan hilang amarahnya.” (HR Bukhari dan
Muslim). Begitulah Rasulullah mengajari kita cara mengendalikan marah.
Pada suatu ketika, ada
seorang penangkar burung jalak bali yang terkenal bertemperamental tinggi datang
ke rumah pak Syam. Dia mengeluh bagaimana cara menjual burung jalak balinya
agar bisa lancer sebagaimana burung jalak milik pak Syam.
Pak Syam berucap sebagaimana
ucapan nabi ratusan tahun yang lalu “La taghdhob wa laka aljannah”. Apa itu pak
Syam maksudnya ? Jangan gampang marah, maka kamu akan mendapatkan surga. Loh
apa hubungannya dengan penjualan jalak bali pak Syam . . .haya-haya waek pak
Syam ini . . .kumaha atuh kang . . .pak Syam ngelantuuurrrr . . .
He he he . . .pak Syam malah
ketawa. Ini bukan ngelantur kang . . .Ini ada hubungannya. Jadi kalau kita suka
marah maka segala kebaikan yang ada di sekitar kita bakal nyingkir. Jika kita
adalah ayah yang suka marah, maka segala potensikebaikan yangdimiliki oleh anak
kita tidak bisa berkembang dengan baik. Jika kita adalah suami yang suka marah
kepada istri maka segala bentuk kelembutan dan kasih yang sayang yang dimilik
oleh istri kita tidak bisa kita rasakan. Jika kita adalah seorang tetangga yang
pemarah maka kita akan dijauhi oleh tetangga.
Demikain juga dengan menjual
burung. Jika kita memiliki temperamental yang tinggi maka pembeli burung akan
takut mendatangi kita. Aura kita bisa dibaca oleh orang lain. Ekspresi wajah
kita akan menunjukkan hal itu. Demikian juga dengan intonasi kita saat menerima
telepon dari calon pembeli, atau kalimat-kalimat kita dalam bbm ataupun sms,
semuanya bisa dirasakan oleh calon pembeli.
Apa lagi jika kita pernah
memilik pembeli yang ternyata kurang cocok dengan burung yang pernah dibelinya
kepada kita, kemudian kita marahi, maka energy kemarahan itu akan menyebar
kepada calon-calon pembeli lainnya. Jika kemarahan itu menyebar maka suatu hari
kelak akan menghalangi datangnya para pembeli ke farm kita. Begituuu . .
.nyambung to ?
Nah omset penjualan burung
yang naik itu sama dengan surga. Surga dunia maksud saya.
Makanya hafalin haditsnya ya.
Baca berulang ulang, nanti kan hafal sendiri.
“La taghdhob wa laka aljannah”
“La taghdhob wa laka aljannah”
“La taghdhob wa laka aljannah”
Nah untuk menterapi sang
penangkar jalak bali tersebut, pak Syam memberikan
ulet keket sebanyak 25 ekor dan mengatakan kepadanya agar menaruh seekor ulet pada
pohon bayem dikebunnya untuk setiap kemarahan yang dia lakukan. Satu kali
marah, satu ulet keket dilepas di kebun bayemnya. Kebetulan dia berkebun bayem
di samping rumahnya. Ada sekitar 25 batang bayem tumbuh subur di sana.
Hari pertama sang penangkar
sudah melepaskan 9 ekor ulet keket, karena seharian ini dia ngomel Sembilan kali.
Hari kedua 6 ekor ulet dilepas di kebunnya. Pada hari ke lima ulernya tersisa 6
ekor. Namun bayem dikebunnya sudah ludes di hari ke 4 kemarin.
Sang breeder jalak bali
mendatangi pak Syam sambil marah-marah “Apa-apan ini pak Syam. Sudah pembeli
burung jalak bali tak kunjung datang, sekarang malah tanaman bayem saya ludes
dimakan ulet keket”. Apa ini maksudnya hah . . . bentak sang penangkar jalak
bali dengan marah . . .
He he he . . . pak Syam malah
ketawa cekikikan . . . kamu sih dibilangi tidak mau. “La taghdhob wa laka
aljannah”. Jangan marah maka bayemmu tidak akan habis. “La taghdhob wa laka
aljannah” Jangan gampang marah maka rejekimu akan lancer. Karena kalau kamu
tidak gampang emosi orang akan seneng bergaul dengan kamu. Kalau orang seneng
bergaul dengan kamu maka semua temanmu akan menjadi tenaga marketing yang akan
menularkan dari mulut ke mulut informasi tentang jalak balimu. Begitu u u
uu . . .
Marah itu ibarat ulet keket
tadi. Dia akan makan apa saja yang dia jumpai. Emosi marah itu juga akan
menelan semua potensi kebaikan di sekitar kita, termasuk rejeki kita juga akan
dicurinya. Jika kita pemarah maka teman kita akan menjauh. Jika teman menjauh
maka kita jadi kesepian, tidak ada orang yang mau diajak tukar fikiran.
Akibatnya kita akan stress. Kalau stress akan marah-marah. efeknya burung kita
juga tidak laku, wong pembelinya pada takut iya toh.
Terus yang kedua, energy marah
itu sangat besar loh. Buktinya tadi uletmu masih sisa 6 toh, tapi bayemmu sudah
habis. Artinya 25 batang pohon bayem dihabiskan oleh 19 ekor ulet iya to ?
Itulah energy marah. Makanya jangan gampang marah.
“La taghdhob wa laka aljannah”
“La taghdhob wa laka aljannah”
“La taghdhob wa laka aljannah”