Oleh pak Syam ( penangkar burung jalak
bali klaten )
Alkisah,
seorang penangkar burung jalak suren bersepeda kumbang pergi menuju pasar burung terdekat. Dia berharap
bakal ada temannya sesama kicau mania yang bersedia mentraktirnya barang secangkir dua cangkir kopi.
Dia
pergi dengan gontai, setengah putus asa, karena musim kemarau ini tak satupun
telur jalak suren di penangkarannya yang menetas. Telur-telur burung jalak
surennya pada kopong. Secangkir kopi mungkin bisa mengusir kesumpekan hatinya.
Sudah
cukup lama ia tidak mendapatkan penghasilan dari penangkarannya yang sederhana
itu. Beras untuk keluarganya kadang tak terbeli. Anak-anaknya sudah lama tak
dibelikan pakaian, apa lagi mainan. Untung istrinya bisa memahami kondisi ini. Meski begitu risau hati sang penangkar tak bisa ditahan, karenanya ia tidak yakin kalau kepergiannya ke
pasar burung kali inipun bakal bisa mengusir kegalauan hatinya . . . . . .
Ketika
laki-laki itu tengah melewati jalanan sepi, tiba-tiba ada sesuatu yang jatuh
mengenai kepalanya. Kontan dia berhenti dan meraba kepalanya, “Lo kok basah ?”
katanya. Dia mendongak ke atas. Rupanya di atas dahan pohon akasia, seekor burung
pleci duduk dengan santai. Seekor burung pleci kaca mata yang buta mata kirinya,
sedang menikmati semilir angin di siang itu. Dia buang kotoran, persis di saat sang penangkar burung lewat di bawahnya . . .
Instingnya
sebagai kicau mania langsung tertantang. Dengan sekali lompat tangan lelaki itu berhasil
menangkap burung pleci tersebut. “Syukurlah ada rejeki kali ini, saya bisa
menjualnya seharga tujuh ribu rupiah atau delapan ribu . . . ,” katanya pada
diri sendiri.
Sebuah
mobil mewah yang berhenti di sampingnya, telah membangunkannya dari lamunan
indah tentang uang tujuh ribu. Setelah kacanya terbuka seorang supir melongok
keluar dan menawarkan seekor kucing persia yang sangat cantik untuk diberikan
secara cuma-cuma. Sang penangkar burung itu merasa ragu, masak kucing secantik itu diberikan secara cuma-cuma. Untuk menepis
keraguannya dia menawarkan barter dengan burung pleci miliknya. Di luar dugaan, ternyata sang Nyonya pemilik mobil yang duduk di sebelah sopir menyambutnya
dengan antusias, " Bagus banget burungnya . . . kecil imut-mut". Barterpun terjadi.
Sang
penangkar burung itu melanjutkan perjalanannya menuju pasar. Baru beberapa
menit dia mengayuh sepeda kumbangnya, sebuah mobil melintas. Demi dilihanya
orang bersepeda membawa keranjang tas plastic wadah kucing, dia menghentikan
kendaraannya. “Pak dijual berapa kucingnya ?” tanya si pengendara mobil. “Tujuh
ratus ribu pak’” kata sang penangkar burung dengan ragu-ragu. “Sini saya
bayarin,” kata si pemilik mobil. Kaget juga si penangkar karena harga yang dia
sebutkan langsung disetujui tanpa di tawar lagi.
Dan
satu lagi, sebelum kendaraan itu pergi, dia memberian seekor burung putih
kepada sang penangkar. “Tadi waktu saya melintas ada burung menabrak kaca depan
mobil saya, sampai pingsan. Terus saya ambil sekarang sudah sehat kok, ambil
saja pak,” kata si pemilik mobil terus berlalu.
“Wouw
seekor burung jalak bali . . .??? Benarkah ini seekor burung jalak bali . . .
??? . . . Mimpi apa aku semalam kok tiba-tiba saya mendapatkan burung yang
sudah sangat lama saya impikan ini . . . bertahun-tahun saya memimpikan burung ini,
tapi sampai saat ini aku baru mampu menangkar burung jalak suren.
Hari ini saya mendapatkan impiannya saya tanpa pernah saya duga . . . terima
kasih ya Allah . . .Kemudian sang penangkar burung sujud syukur . . .
Dengan
hati yang berbunga-bunga dia memutar arah sepeda kumbangnya menuju rumah. Dia
lupakan manisnya kopi di warung Lik Kijan tengah pasar burung, langganannya.
Dengan senyum yang mengembang dia pacu sepeda kumbangnya menuju rumah sambil
membawa duit tujuh ratus ribu rupiah untuk istri tersayang.