“Om foto kandangnya kok jelek” kata seseorang mengomentari foto kandang penangkaran burung Jalak Bali milik saya. “Hus . . . jangan bilang jelek, bilang saja sederhana ya” jawab saya dengan nyengir kuda.
Omong-omong soal kandang penangkaran burung Jalak Bali yang saya miliki, saya harus mengatakan bahwa senyatanya kandang penangkaran burung Jalak Bali milik saya memang “sederhana”. Anda boleh membaca kata sederhana itu dengan kata “jelek”. Karena memang jika anda berdiri di depan kandang penangkaran burung Jalak Bali milik saya, anda akan kesulitan untuk memisahkan antara makna kata sederhana dan jelek. Namun begitu saya tetap lebih suka menyebutnya “sederhana”, ini hanya soal selera pilihan kata saja kok.
Di samping kandang saya penampakannya memang “sederhana” dari segi ukurannyapun ternyata juga “tidak ideal”. Untuk kata “tidak ideal” inipun saya juga mempersilakan anda untuk membacanya menjadi kata “ngawur”. Tapi saya lebih suka menyebutnya “tidak ideal” saja. Lagi-lagi ini soal selera berbahasa saja, saya orang Klaten jadi biasa berbahasa dengan haluuusss . . . piss ya !
Bagaimana tidak, biasanya saya selalu merekomendasikan ukuran kandang 1 x 2 x2.5 dimana lebarnya 1 meter, panjangnya minimal 2 meter dan tingginya minimal 2,5 meter. Namun kandang penangkaran burung Jalak Bali milik saya justru hanya berukuran 0.9 x1.6 x 2 yaitu lebarnya 90 sentimeter, panjang 160 sentimeter dan tingginya 2 meter saja. Jelas tidak ideal kan ?
Kok nampaknya pak Syam ini tidak konsisten ya ? Tidak konsisten antara masukan yang diberikan kepada orang lain dengan yang dipraktekkan oleh pak Syam sendiri ?
“Oo . . . ini ada sejarahnya tersendiri” jawab pak Syam menyela.
Ceritanya begini. Pada jaman dahulu kala konon pada saat pertama kali memulai menangkarkan burung pak Syam hanya berbekal burung dan tekad menangkar. Ya hanya punya burung dan punya tekad untuk menangkarkan burung. Dua modal itu yang dia miliki.
Pada saat itu bisa dibilang pak Syam tidak memiliki modal ilmu perburungan sama sekali. Kalau toh dia memilik sedikit pengalaman dalam memelihara burung, itu hanyalah sebatas pengalaman miara burung kutilang dan kacer waktu masih kecil dulu. Di sana nun jauh di kampung sana.
Maka sampai sekarang, otodidak tetap menjadi andalan dari penangkar burung Jalak Bali yang memang nDeso ini.
Berbekal otodidak sambil membaca beberapa literature dan rajin bertanya kepada para senior dan juga melakukan pengamatan sendiri terhadap perilaku burung dalam penangkaran kemudian diubleg (diaduk) jadi satu untuk selanjutnya dijadikan sebagai pegangan dalam penangkaran.
Maka sekarang jika ada orang yang bertanya tentang penangkaran burung Jalak Bali, sebenarnya jawaban itu berasal dari kumpulan beberapa sumber pengetahuan tersebut.
La kok pak Syam justru tidak menerapkan ilmu hasil “ublegan” tersebut ?
La kandangnya wis kadung alias terlanjur jadi kok. Saya membangun kandang itu ketika saya masih dalam kondisi nol pengetahuan. Jadi asal membuat saja. Ukuran sesuai dengan lahan yang ada. La karena adanya lahan yang sempit maka jadilah kandang dengan ukuran yang “tidak ideal” tersebut.
Lah Kalau saya punya lahan yang agak luas dan sekarang sudah tahu ukuran ideal bagi penangkaran burung Jalak Bali ya tentu saja saya akan membuat kandang yang ideal. Gitu saja kok repot, begitu kata guru saya Gus Dur.
Eh tapi ngomong-ngomong walaupun kandang saya penampakannya “sederhana” dan ukurannya “tidak ideal” ( anda boleh membaca : kandangnya jelek dan ukurannya ngawur) tapi dari segi produktifitas, alhamdulillah sangat memuaskan. Hasilnya buuaaanyak . . .buuuaaaanget . . . Suer . . .loh
Kok Bisa ya ? . . . . . . .bersambung . . . . . . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar