Terus saya merambah ke spcies
lain. Beberapa anakan jalak suren saya boyong ke rumah. Sisa tanah di belakang
rumah saya sulap . . . sim salabim jadi kandang jalak suren. (saya main sulapnya
ngundang pak tukang). Tidak sampai satu tahun jalak suren juga produk dengan
baik. Syukur !
Kesuksesan loncat species dari
kenari ke jalak suren ini merangsang saya untuk meloncat lagi ke species lainnya.
Kali ini saya tergoda dengan cucak rowo. Akhirnya empat pasang cucak rowo saya
borong ke rumah. Ada yang sudah dewasa ada yang masih nangkring di taman
kanak-kanak yang baru saja ngevoor kering. Puas rasanya hati ini.
Namun apa yang terjadi
sodara-sodara . . .? Ternyata setelah saya rumat bertahun-tahunpun saya tidak
mendapatkan sebutir telurpun dari perut mereka. Setelah kurang lebih selama
enam tahun saya merawat mereka, tetap saja tidak mau memberikan keturunan
kepada saya. Dan lebih dari itu ternyata kisah ngebreeding cucak rowo ini
berakhir tragis sodara-sodara.
Karena akhirnya cucak rowo saya
jatuh ke tangan maling. Tidak tanggung-tanggung dia menggondol dua pasang, saat
kami tinggal sholat terawih ke masjid bersama seluruh keluarga. Wong poso-poso
kok yo nyolong to le le . . . . Akhirnya saya putuskan untuk sementara saya
stop dulu dari arena cucak rowo.
Suatu hari nanti kalau saya sudah
mendapatkan ilmu ngebreeding cucak rowo yang handal, I’m come back alias balik
maning. Namun sampai sekarang, sudah sekitar tiga tahunan saya meninggalkannya,
masih belum punya niat untuk balik maning. Pingin sih pingin tapi sampai
sekarang belum melangkah.
Loncatan yang kedua ini rupanya
gagal. Gagal di cucak rowo saya pingin ngebreeding Murai Batu. Gara-gara teman
saya yang ngebreeding Murai Batu jenis medan, dengan kondisi breeding yang
biasa-biasa saja ternyata produktifitas dari tujuh atau delapan kandangnya membuat saya
ngiler. Terus saya pesan dua pasang. Satu pasang dewasa satu pasang anakan. Mangstab
!
Sepasang Murai Medan yang sudah
berjodoh dan siap ke pelaminan saya boyong pulang ke rumah. Seneng bukan kepalang
hati ini ketika sebulan kemudian sudang angkut-angkut sarang. Wah ini pertanda
baik, kata hati saya.
Benar juga sekitar dua minggu
kemudian ternyata betinanya sudah bertelur. Namun sayang seribu sayang telur
pertama ini dibuang. Ah . . . itu sih biasa, ini kan baru telur pertama, hibur
hatiku kepada diriku sendiri. Okelah kalau begitu, lanjut . . .
Bagaimana dengan telur yang kedua,
ketiga dan seterusnya, apakah bisa
menetas dengan baik. ? Untuk menjawab pertanyaan ini rasanya hati ini masih
perih. Sebab mau tidakmau saya harus mengingat-ingat kembali masih sedih itu.
Walaupun ini tidak sepedih kasus cucak rowo, karena memang kejadiannya tidak
setragis pada kasus cucak rowo di atas.
hanya saja hati ini masih agak
perih, karena ternyata telur kedua, ketiga dan setrusnya tidak pernah nongol
lagi. Lho kok bisa ? Apa yang telah terjadi dengannya ? Apakah angkremnya
terganggu oleh tikus yang jrontalan di atas kandang, atau ekstra foodingnya
salah jadwal sehingga mengganggu siklus bertelurnya ?
Oh. . . tidak. Penyebabnya bukan soal itu. Tapi
disebabkan oleh kematian pejantannya. Ooo . . .kok bisa ? Itulah kawan . . .
beternak itu memang gampang-gampang susah. Ada banyak variable yang mesti
dimanage dengan baik. Singkat cerita kesuksesan ngebreeding Murai Batu saya,
harus tertunda. Untuk kali ini saya tidak menyebutnya sebagai kegagalan
ngebreeding, tapi kesuksesan ngebreeding Murai batu saya masih tertunda.
bersambung . . . . . . ke gerbong berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar