Sejak awal saya terjun di dunia
ternak menternak alias ngebreeding manuk, saya telah menemukan keanehan demi
keanehan. Misalnya ada orang yang ngebet banget pingin ngebreeding, terus dia
beli indukan ( bedol kandang) tapi setelah berbulan-bulan dia ngebreeding bahkan
sampai menghabiskan semua nama bulan, eeee . . . ternyata indukannya tetep nggak mau produk. Yang model
begini ini banyak contohnya.
Tapi sebaliknya. Ada orang yang ngebreeding
‘ala kadarnya’ atau kalau dalam bahasa jawa diistilahkan ‘ora niyat’ . . .e e e
jebulnya kok malah produknya rutin. Tiap sebulan sekali panen. Indukannya
produktif sekali.
Saya menemukan peternak model
yang kedua ini, lumayan banyak.
Teman saya ngebreeding cucak rowo. Dia punya
beberapa indukan yang cukup produktif. Kalau saya lihat kandangnya, baik ukuran
maupun suasananya dalam kandang, lingkungan, perawatan ( fooding + ekstra
foodingnya ) biasa-biasa saja. Tapi dari ngebreeding yang biasa-biasa saja (
menurut saya ) menghasilkan produk yang luar biasa, terutama dari
produktifitasnya. Kalau soal kualitas di lapangan saya belum pantau. Tapi yang
jelas indukannya produktif.
Ada lagi teman saya yang ngebreeding
macam-macam burung mulai jalak suren, jalak putih, murai batu, kenari, cucak
rowo dan love bird. Sebagian besar burungnya produk dengan baik, terutama
burung Murai Batunya. Dan lagi-lagi kalau dilihat sepintas, dia ngebreeding
dengan cara yang biasa-biasa saja. Kandangnya, baik ukuran maupun suasananya dalam
kandang, lingkungan, perawatan ( fooding + ekstra foodingnya ) biasa-biasa saja,
sama dengan teman saya yang pertama tadi.
Bayangkan ketika banyak orang
ngebreeding dengan cara memanjakan burung; kandang dibuat mewah ada saung, di tambah
kolam dengan air gemericik, tiap kandang dipasang CCTV, dan lain-lain. Tapi
produktivitas breedingnya toh tidak sepadan dengan biaya yang dikeluarkan.
Padahal bagi seorang breeder, keberhasilan kegiatan ngebreedingnya, diukur dari
berapa banyak piyikan yang dihasilkan dari indukan yang dimilikinya. Ini ukuran
paling standart. Di tahap berikutnya baru orang bicara tentang kualitas dari produk
farmnya. Tapi ayng pertama dilihat adalah produktifitasnya.
Itu keanehan yang pertama. Terus
yang kedua tentang keberhasilan ngebreeding satu species itu ternyata ( menurut
saya) tidak otomatis bisa ditrapkan untuk species yang lain. Selama ini saya
sudah mencoba untuk ngebreeding beberapa species mulai dari kenari, jalak
suren, cucak rowo, murai batu dan jalak bali. Masing-masing species ini
memiliki catatan sendiri-sendiri, dimana catatan antar species ini tidak saling
menjiplak alais beda-beda.
Awalnya saya mencoba ngebreeding
kenari local. Alhamdulillah lancar. Dalam hitungan bulan sudah beranak pinak
dalam jumlah yang lumayan banyak.
Terus saya merambah ke spcies
lain. Beberapa anakan jalak suren saya boyong ke rumah. Sisa tanah di belakang
rumah saya sulap . . . sim salabim jadi kandang jalak suren. (saya main
sulapnya ngundang pak tukang). Tidak sampai satu tahun jalak suren juga produk
dengan baik. Syukur !
sengaja coretan ini saya buat sambung menyammbung seperti sepuuuurrrr . . . . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar