Sebagai tukang
burung, saya biasa wira-wiri naik kendaraan umum menyinggahi berbagai kota di
pulau Jawa. Selama ini saya memang seringnya gak sampai hati jika mengirim
burung pakai jasa pengiriman hewan pada umumnya. Gak tahu kenapa begitu.
Rasanya gak enak saja.
Selama masih
bisa dijangkau oleh kereta api, atau didatangi dengan perjalanan darat lainnya,
saya sering mengantarkan burung jalak bali pesanan konsumen sampai ke alamat.
Konsekwensi atas pilihan ini maka saya sering wira-wiri alias bolak-balik naik
kendaraan umum, terutama kereta api.
Sebenarnya saya
paling senang jika pembeli memiliki waktu untuk datang sendiri ke gubug saya di
Klaten. Dan Alhamdulillah memang banyak juga penggemar burung jalak bali yang
mampir ke gubug saya. Biasanya mereka sekalian melihat-lihat kandang
penangkaran burung jalak bali saya, nanya-nanya cara merawat burung jalak bali,
ingin melihat langsung bagaimana cara menyuapi burung-burung jalak bali yang
masih berusia dini dan lain-lain.
Tentu saja selama
menjalani aktivitas wira-wiri tersebut, ada banyak pengalaman yang layak untuk
saya catat. Salah satunya yang saya alami awal pekan ini.
Seperti biasanya
sore itu saya diantar istri dan ditemani si bungsu, Azzam ke Stasiun Kereta Api
Klaten. Sore itu saya akan berangkat ke Jakarta.
Berkereta dengan
tujuan ke Jakarta, dalam beberapa bulan ini saya biasa pakai kereta api Senja
Utama Jogjakarta. Saya pilih kereta ini karena jam keberangkatannya yang enak
yaitu pukul 20.30 dari stasiun Tugu Jogjakarta dan sampai di Stasiun Jakarta
Pasar Senen menjelang pukul 5 pagi. Menurutku ini waktu yang pas untuk
bepergian ke Jakarta. Kalau ikut kereta lain, sampainya di Jakarta kepagian,
masih gelap . . . ngerii . . . banyak
kejahatan. Kalau sampainya kesiangan, panas . .. ngerii . . .macet . . . he he
he . . .
Setelah membeli
tiket kereta api Lodaya (untuk transit di Jogjakarta) saya masih ada waktu
untuk bercengkerama dengan istri. Tak lama kemudian ada pengumuman kereta api
Lodaya akan segera masuk ke jalur satu. Penumpang berjejal memasuki pintu
kereta api jurusan Bandung itu.
Di sore yang
cerah itu kereta api Lodaya membawaku menuju stasiun kereta api Tugu
Jogjakarta. Setelah selesai sholat isya seperti biasanya saya menyempatkan diri
untuk pijet terlebih dahulu beberapa saat. Sejak dilakukan perbaikan managemen
di PT. KAI kini di Stasiun Tugu Jogjakarta terdapat tiga corner yang
menyediakan kursi pijat elektronik. Murah meriah, hanya dengan selembar uang sepuluh
ribu rupiah kita bisa melepaskan ketegangan otot-otot kita selama sepuluh
menit. Saya hampir ajeg memanfaatkan jasa pijet ini, lumayan untuk sekedar
relaksasi dan melenturkan otot-otot punggung.
Tak lama
kemudian kereta api Senja Utama Jogjakarta siap meluncur membawa penumpang
menuju Jakarta. Sekitar setengah
jam kereta meluncur. Kondektur memasuki gerbong enam tempat saya duduk, untuk
melakukan pemeriksaan tiket. Tiket saya berikan. Agak lama kondektur memandangi
tiket. Ini gak biasanya. Kemudian dengan tenang dia mengatakan,”Tiketnya salah
pak. Ini tiket kereta api Senja Utama Solo yang berangkat pukul enam sore
tadi.”
Dengan rasa
tidak percaya saya minta tiket tersebut. Kemudian saya pelototi, alamaaak . . .
teryata memang benar ini tiket kereta api Senja Utama Solo. Wah saya salah naik
kereta dong . . .
Pak kondektur
mengatakan bahwa saya harus turun dari kereta Senja Utama Jogjakarta ini, karena
saya tidak memiliki tiketnya. “Gimana pak mau turun di Stasiun Wates atau
Stasiun Kutoarjo ?” tanya Kondektur. “Kutuarjo saja pak,” jawab saya singkat.
Saya memilih untuk turun di Stasiun Kutoarjo dengan niat untuk membeli tiket
lagi, seadanya tiket kereta api merk apa saja gak masalah asalkan jurusan ke
Jakarta.
Saya diminta
untuk pindah ke gerbong restoran . . . biar gampang memantaunya . . . sebagai
pesakitan saya, saya tidak terlalu terpengaruh dengan kasus ini . . .
Menjelang
Stasiun Kutoarjo kondektur menghampiri saya,”Maaf pak, saya lupa Kereta Senja
Utama Jogjakarta tidak berhenti di Stasiun Kutoarjo, tapi berhentinya di
Stasiun Gombong. Gimana pak , apa sekalian turun di Stasiun Purwokerto saja ?!”
Saya menyetujui sarannya, mengingat Stasiun Gombong adalah stasiun kecil
sehingga peluang untuk bisa mendapatkan tiket ke Jakarta semakin kecil
Sekitar pukul
23.00 saya sampai di Stasiun Purwokerto. Begitu kereta berhenti saya langsung
berlari ke loket dengan menyerobot melalui pintu masuk. Segera saya menuju
loket satu dengan harapan bisa mendapatkan tiket kereta Senja Utama Jogjakarta
yang barusan saya tumpangi. Namun nasib
berkata lain, saya tidak mendapatkan tiket kereta itu. Juga kereta-kereta lain
yang menuju ke Jakarta.
Terlintas dalam
benak saya untuk mencari penginapan di Kota Purwokerto dan melanjutkan
perjalanan ke Jakarta esok hari dengan menggunakan kereta Fajar Utama
Jogjakarta atau Sawunggalih Pagi. Namun niat itu saya urungkan.
Stasiun Purwokerto, dini hari
Tiba-tiba saya ingin balik ke Klaten saja. Maka malam itu saya tidak jadi melanjutkan perjalanan ke Jakarta dan balik lagi ke Klaten dengan menggunakan kereta api Argo Lawu.
Gema adzan subuh
menghias langit Klaten, saat saya kembali menjejakkan kaki di stasiun yang aku
tinggalkan maghrib kemarin. Dua rokaat di musholla stasiun ku lalui dengan mata
yang berat. Tak lupa wirid ku lantunkan, dan sepenggal do’a ku panjatkan kepada
Ilahi Robbi. Kemudian dengan diantar tukang ojeg saya meluncur ke rumah.
Suasana lengang
saat memasuki kampungku kembali. Dengan ditemani sayup-sayup suara adzan yang
telat dikumandangkan saya terhenti sejenak di teras rumah. Rupanya istri dan
anak-anak saya belum bangun. Saya mau mengetuk pintu agak ragu, karena ini pasti
akan mengagetkan mereka. Persis di depan pintu, saya menelepon istri saya . . .
Saya diberondong
berbagai pertanyaan oleh istri dan ketiga anak saya, ada apa kok balik lagi ? Anak
saya yang nomor tiga biasanya paling susah dibangunkan subuh, pagi itu nampak
kaget,”Saya kira tadi ada perampok,” celetuknya disambut tawa seisi rumah.
“Sudah sana ke masjid dulu, mumpung belum komat,” kata saya kepada anak-anak.
erekapun berangkat menuju masjid yang berjarak sekitar tiga ratusan meter dari
rumah kami.
Dan pagipun
menjelang. Semburat kekuningan memancar dari ufuk timur. Burung-burung ramai
bersahutan membelah pagi, seakan tidak terpengaruh oleh gerimis pagi yang mulai
berjatuhan. Mata hari enggan menampakkan kegairahannya, maklum musim penghujan.
Namun sekalipun hari-hari di musim ini nampak kurang bergairah, bagi kami para
penangkar burung, musim hujan adalah musim berkah. Di musim ini burung-burung
cenderung aktif berproduksi, kecuali burung-burung yang tidak tahan dingin
seperti burung kenari, love bird, dan berbagai jenis burung impor khususnya
dari Afrika. Maka bagi penangkar burung jenis jalak, cucak rawa, kacer, dan
murai batu, musim penghujan adalah musim datangnya rejeki . . .
Tak terasa
setengah hari saya lalui hariku bergelut dengan urusan kandang. Memberi pakan,
mengganti air mandi burung, mengecek telur dan beberapa kali menerima telepon soal
burung jalak bali dan membalas WA yang masuk ke telephon. Itulah hari-hariku
saat saya berada di rumah.
Siang hari
sambil menjemput anak pulang sekolah saya mampir ke stasiun untuk membeli tiket
kereta api Senja Utama Jogjakarta. Alhamdulillah tiket masih banyak, maklum ini
hari Senin tiket kereta jurusan ke Jakarta dan Bandung memang masih banyak.
Beda dengan hari Minggu. Di hari Minggu tiket kereta api dengan tujuan ke dua
kota tersebut selalu ludes, bahkan beberapa pekan sebelumnya.
Minggu sore saya
berangkat lagi. Malam itu saya kembali menyusuri rel kereta yang sama. Dengan
menggunakan kereta yang sama, namun Alhamdulillah dengan nasib yang berbeda
dengan perjalanan sehari sebelumnya.
Saat pemeriksaan
tiket dan melintasi stasiun Wates saya kembali teringat pada dua momen yang telah
memberiku “pencerahan” dalam hidupku kemarin; di mana hidup ini memang tidak
sepenuhnya pararel dengan kehendak kita. Ada saatnya kita bakal dihadapkan pada
kondisi yang sama sekali tidak kita kehendaki. Maka menyiapkan mental untuk bisa
menerima semua keadaan yang terjadi, menjadi “lifeskill” yang semestinya kita
miliki. Apa lagi sebagai tukang burung, hal itu sangat penting . . . agar kita
bisa menjadi tukang burung yang tahan banting.
Duduk di sebelah
saya, sebut saja Pak Rudi. Beliau baru tiba dari Temanggung untuk urusan mobil innova
miliknya yang digadaikan temannya tanpa sepengetahuannya. Dua belas hari beliau
melacak temannya yang awalnya beliau ketahui berdomisili di Bantul Jogjakarta,
namun ternyata sekarang sudah menjadi Lurah di salah satu desa di Kabupaten Temanggung
itu. Urusan mobil tidak selesai, beliau kehabisan bekal karena harus hidup di
rantau orang tanpa sanak tanpa family, akhirnya beliau memutuskan untuk kembali
ke Pamulang Tangerang Selatan dengan tangan hampa. Dalam hati saya bersyukur
tidak mengalami kejadian seberat beliau.
Lama sekali kami
mengebrol sampai akhirnya kantuk menyergap kami berdua. Saya minta ijin untuk
menggelar alas tidur di kolong kursi kereta. Dan selebihnya kami menikmati
tidur kami dengan cara kami masing-masing. Tidur yang sama-sama tidak pulas,
karena tingkahi gemuruh suara lokomotif yang meraung-raung melaju dengan
kecepatan maksimal dan goncangan gerbong yang meluncur mengejar paginya Jakarta
. . .
Gema adzan subuh
membangunkan saya. Aku bangun, ku tengok teman dudukku sudah tidak ada di bangku
tempat duduknya lagi. Sudah pukul lima, tapi kereta baru memasuki stasiun
Jatinegara. Kereta datang terlambat. Perjalanan sebenarnya tinggal satu stasiun
lagi, tapi karena datangnya terlambat, membuat kereta terhambat memasuki
Stasiun Jakarta Pasar Senen.
Lalu lintas
pagimemang lalu lintas padat, karena banyaknya armada kereta listrik Jakarta.
Akhirnya jarak Stasiun Jakarta Jatinegara – Stasiun Jakarta Pasar Senen yang
mestinya bisa ditempuh dalam waktu lima belas menit, kali ini sampai memakan
waktu satu jam. Pukul 06.10 menit kereta tiba di Stasiun Jakarta Pasar Senen.
Kini dengan berganti
motor tua saya melanjutkan perjalanan membelah keramaian lalu lintas Jakarta.
Syukurlah kerumunan lalu lintas di Tugu Tani belum terlalu padat. Setelah
melewati Monas dan melintas melewati jalan depan kantor Gubernur Ahok, saya
melanjutkan ke arah Tanah Abang Jakarta Pusat. Keramaian jalanan di depan pasar
yang dulu identik dengan wilayah Haji Lulung ini sudah mulai menggeliat. Motor
bututku ku pacu dengan kencang. Dengan kaki naik ke atas mesin, badan menunduk
ke depan, kepala terbungkus helm cakil, saya membayangkan inilah Valentino
Rossi yang sedang membetot gas di sirkuit Sepang Malaysia. Ngeeennnggg . . . .
Lima menit saya
sampai di Pejompongan. Setelah memarkir motor di gedung yang biasanya saya
menampung burung-burung saat transit di Jakarta, saya berjalan kaki menuju
tempat kos.
Memasuki gang,
saya menyempatkan membeli bubur ayam khas Jakarta. Orang-orang pada ramai
berbincang soal pencurian mobil. “Habis ade pencurian mobil ya bang ?” tanya
gue ke abang bubur. Busyeeettt . . . kenape gue bisa mendadak jadi betawi gini
ye . . . mirip bang Ocid . . .ha ha ha . . .
Betapa kagetnya
saya ternyata yang kehilangan mobil adalah juragan kos saya. Kejadiannya senin
subuh. Waktu di mana seharusnya saya tiba di tempat kos, seandainya kemarin
saya tidak salah naik kereta api.
Pagi itu,
selesai jogging muter Bendungan Hilir sambil menenteng pepaya dalam plastic
kresek berwarna putih, saya melihat sahabat saya Cak Sigit sedang berbincang
dengan ibu kos. Saya nimbrung, rupanya ibu kos dengan air mata yang masih
berderai-derai ( beneran ) menceritakan peristiwa senin subuh itu.
“Jadi sekitar
jam tiga saya bangun. Wudhu untuk sholat malam. Saya melihat ke depan, dari
kaca saya melihat ada dua orang di depan rumah. Saya tidak curiga apa-apa.
Kemudian saya sholat malam,” begitu cerita ibu kos. Kami hanya menyimak, dan
sesekali mengucapkan “Ooo . . . “ sambil
manggut-manggut, sebagai tanda bahwa kami turut berempati.
Selesai sholat beliau
kembali melihat ke depan. Dua orang itu masih ada di halaman. Dalam hati si ibu
bertanya,”Ngapaian ya orang ini ?” Tapi tidak ada sedikitpun kecurigaan bahwa
ini orang jahat. Menjelang subuh kedua orang tersebut nampak melakukan sesuatu
pada mobil miliknya. Ibu kos masih belum berfikiran macam-macam.
Tepat adzan
berkumandang ( posisi mobil ke masjid sekitar 6 meter ), masih dari dalam rumah
si ibu melihat yang satu orang membuka pintu bagian belakang mobil dan masuk ke
dalamnya. Yang satunya langsung menstater. Saat itu beliau baru sadar itu
pencuri. Beliau langsung keluar dan berteriak,”Maling-maling . . . sambil
mengejar mobilnya . . .!!!”
Namun teriakan
di pagi buta itu seakan di telan sepinya pagi. Tak ada satupun tetangga yang
meresponnya, mungkin mereka masih pada tidur. Di masjid baru ada satu orang yang
sedang melantunkan adzan. Di pagi subuh itu pula beliau melaporkan kejadian itu
ke Polsek Tanah Abang. Polisi segera menindaklanjuti denga melakukan olah TKP.
Sekitar pukul
delapan pagi, penduduk berjubel menonton CC TV kos-kosan sebelah. Nampak dalam
tayangan CC TV beberapa orang mondar-mandir sambil membawa senjata api, “Iya
itu orangnya,” kata ibu kos memastikan bahwa maling yang subuh tadi beraksi
adalah orang yang tertangkap dalam kamera itu.
Orang-orang
ramai berbincang,”Untung ibu tidak keluar rumah waktu melihat ada maling tadi,
kalau ibu keluar mungkin dia akan menodongkan senjata,” kata seorang bapak.
Yang lain menimpali,”Seandainya maling tadi kepepet, pasti senjata apinya bakal
di pakai untuk menembak.
Rupanya maling
yang beraksi tidak hanya dua orang. Diperkirakan ada empat sampai lima orang
malingnya. Yang dua orang beraksi menggasak mobil, yang dua orang lalu lalang
dan seorang lagi menjaga pintu portal masuk gang.
Wah ngeri juga
ya . . . saya membayangkan bahwa di pagi-pagi menjelang subuh saya biasa keluar
menuju masjid yang letaknya hanya sekitar sepuluh meter dari tempat saya kos
itu. Biasanya saya sampai di masjid sekitar sepuluh atau setengah jam menjelang
subuh. Kadang hanya sempat sholat witir tiga rokaat. Kadang bisa selesai
sebelas rokaat, terus adzan subuh dikumandangkan.
Senin subuh itu,
seandainya saya tidak salah naik kereta, adalah waktu di mana saya seharusnya
sampai di tempat kos. Bersamaan dengan waktu gerombolan lima orang pencoleng
bersenjata api itu beraksi.
Akhir-akhirnya
ini di Jabodetabek tengah hangat diberitakan peristiwa-peristiwa criminal yang
menjurus kepada kekerasan. Belum lama ini di Pondok Aren Tangerang beraksi
begal yang berusaha merebut motor korbannya, namun gagal dan tertangkap kemudian
di hakimi massa. Bahkan saking beringasnya massa si begal yang tertangkap itu
di siram bensin lalu di bakar. Ngeri ya . . .
Di Pamulang
kejadian yang mirip juga terjadi, di mana seorang begal ramai-ramai di hakimi
massa, untung polisi segera datang mengamankan. Jika tidak mungkin nasibnya
juga tidak kalah tragis. Nampaknya suasana kota yang makin sumpek, kemapanan
ekonomi yang semakin susah dicapai, jurang si kaya dan si miskin yang makin
menganga membuat beberapa orang menjadi kalap. Awas ini Jakarta bang . . .
mesti ati-ati . . .
Siang itu saya
termenung, scnario seperti apa yang akan Allah berikan kepada saya lewat
kesalahan naik kereta ini, hari Minggu sore kemarin ? Kalau tidak salah naik
kereta, mungkin saya akan berpapasan dengan para maling itu. Tapi yang jelas
scenario Allah pasti indah, sebab Allah memang Dzat yang maha indah ( Innallaha
jamil, mayuhibbul jamal). Allahu a’lam . . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar