Masyarakat dilarang
menangkap atau membunuh segala jenis burung. Jika melanggar, akan didenda
hingga dikucilkan masyarakat.
Pagi hari di Pulau Nusa Penida kini ada pemandangan baru. Tak
sulit menjumpai burung jalak bali bermain-main; di dahan kering, belakang pura
(Pura Puseh), hingga di ketinggian pohon kelapa.
Pemandangan seperti itu ditemui di Kecamatan Klungkung, Bali. Sebelumnya, beberapa ekor jalak bali (Leucopsar
rothschildi) terlihat bermain-main di pepohonan kelapa, halaman depan Hotel
Ring Sameton di sekitar permukiman.
Jenis burung dilindungi dan berkategori apendiks I CITES itu
hasil pelepasliaran tahun 2006. Meski secara administratif Nusa Penida masuk
wilayah Provinsi Bali, jalak bali atau curik bali hanya ditemui di Taman
Nasional Bali Barat.
Nusa Penida bukan habitat asli burung berukuran sekitar 25
sentimeter itu. Di tempat aslinya, curik bali hanya berjumlah puluhan ekor.
Pelepasliaran waktu itu mengundang perdebatan di kalangan
konservasionis dan pemerhati burung. Meski begitu, tahun 2006 tetap
dilepasliarkan 65 jalak bali di Pulau Nusa Penida di timur Pulau Nusa
Lembongan. Tahun 2011 dilepas lagi 10 ekor. Hasil survei tahun 2012,
diperkirakan jumlahnya 100-200 ekor.
”Kunci keberhasilan adalah dukungan masyarakat sini,” kata I
Gede Nyoman Bayu Wirayudha, Direktur Friends of the National Parks Foundation.
Sejak awal menjalankan proyek pelepasliaran jalak bali ke Nusa
Penida, hal pertama yang dilakukannya adalah mendekati kelompok masyarakat
adat. Melalui pendekatan intens, masyarakat 25 desa adat (kini 46 desa adat)
bersepakat membuat awig-awig atau peraturan adat.
Masyarakat dilarang menangkap atau membunuh segala jenis burung,
terutama burung curik bali. Jika melanggar, dipaksa membayar denda hingga
dilakukan upacara adat dan dikucilkan masyarakat.
Itu tak hanya berlaku bagi masyarakat asli Bali. Warga luar Bali
yang kedapatan menangkap burung di Nusa Penida didenda.
Sanksinya bervariasi di setiap desa. Di Desa Ped, misalnya,
sanksi bagi penangkap burung sebesar harga burung di pasaran dan burung yang
ditangkap wajib dilepas. ”Kalau burung mati atau sudah dijual, dendanya dua
kali lipat,” kata Bayu.
Pada awal penerapan awig-awig, tahun 2006-2007, di Desa Ped,
seorang warga pernah didenda dan dipaksa minta maaf karena mencuri burung
tekukur.
Diapresiasi
Diapresiasi
Inisiatif masyarakat seperti itu diapresiasi Menteri Kehutanan
Zulkifli Hasan. Ia mendorong pemda memberi perhatian kepada kelompok masyarakat
yang masih menjaga kelestarian alam. ”Kalau perlu, ada semacam insentif bagi
masyarakat seperti ini,” katanya di sela-sela mengikuti pertemuan APEC di Bali,
awal Oktober 2013.
Sayang, belum tampak langkah nyata dari pemerintah daerah untuk
mendukung kelestarian burung curik bali. Padahal, burung ini simbol Pemerintah
Provinsi Bali.
Tahun 2000-an, burung endemis Bali ini sempat diributkan
berbagai kalangan. Sebab, populasinya merosot dan bisa dihitung dengan jari di
habitat aslinya, TN Bali Barat.
Di luar negeri, seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Jepang,
curik bali sukses dibiakkan dan dikomersialkan. Di dalam negeri, penghobi
burung di Bandung, Surabaya, dan Bali pun mampu. Harga burung ini dalam kondisi
”jadi” bisa Rp 25 juta per ekor.
Temuan pertama curik bali dilaporkan penemunya, yakni Baron
Stressmann, ahli burung berkebangsaan Inggris, 24 Maret 1911. Kini di Penida,
si curik tinggal di lubang pohon kelapa yang ditinggalkan tupai. Siulan dan
keindahan bulunya turut melukis alam Nusa Penida.
(Ichwan Susanto/Kompas Cetak)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar