Tahun 60-an atau 70-an kita mengenal petinju hebat, Muhammad Ali. Tahun 80-an kita mengenal Mike
Tyson sebagai petinju dengan reputasi meng-KO lawannya dengan angka yang cukup
mencengangkan.
Muhammad Ali kinclong dibawah asuhan Angelo Dundee.
Sedangkan Mike Tyson walaupun sempat bergonta-ganti pelatih dia tetap merasakan
sentuhan tangan Cus D’Amato sebagai tanagn paling dingin dan paling mengena di hatinya.
Kedua pelatih inilah yang telah bekerja di balik layar hingga
lahir kedua petinju hebat tersebut. Mereka dengan gemilang berhasil memoles
kedua petinju menjadi yang terhebat di planet ini. Mereka berdua adalah sedikit
dari pelatih legendaris yang pernah dimiliki oleh dunia tinju.
Tapi tahukah anda bahwa kedua pelatih legendaris itu jika
ditarungkan di atas ring, melawan anak asuhnya itu, mereka tidak akan bisa
lolos ke ronde ke dua, alias telah di-KO di ronde pertama. ? Ya Angelo Dundee
yang legendaris ini tidak akan bisa bangkit jika dihadiahi satu bogem mentah
saja oleh Muhammad Ali. Demikian juga Cus D’Amato mungkin tidak akan bisa
bangkit dalam tujuh hari ke depan jika uppercut atau jab Mike Tysan mendarat di
rahang sang pelatih.
Dan jika pertandingan itu benar-benar direalisasikan oleh promoter,
saya berani bertaruh kedua pelatih legendaries ini tidak akan bisa memasukkan
satu pukulanpun kepada sang petinju itu. Sang pelatih tentu saja hanya akan
menjadi bulan-bulanan dari sang petinju. Kelas mereka sangat tidak berimbang.
Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa kedua petinju hebat itu memilih keduanya untuk
menjadi pelatih ? Bukankah secara kasat mata sang pelatih tidak bakal mampu mengalahkan sang petinju ? Iya toh ? Kok ya kake-kakek yang power dari jabnya sudah lemah ini dipilih jadi pelatihnya. Mengapa pula mereka mentaati jadwal latihan keras yang
disusun oleh orang yang tidak mampu melawan dirinya tersebut? Dan bahkan
kebengalan Mike Tyson yang liar ini, bahkan takluk dihadapan Cus D’Amato yang
jabnya hanya bisa menyakiti anak TK ini ?
Mengapa hal itu bisa terjadi ? Heran gak ?
Jangan heran ya. Sebab begini, kata orang-orang hebat, dalam diri setiap orang
selalu terdapat titik lemah yang berupa ketidaktahuan terhadap kelebihan dan kekurangan diri sendiri. Ini penyakit umum yang menyerang semua manusia. Penyakit ini bahkan juga nangkring di pundak orang-orang hebat yang telah berhasil mengukir
prestasi membanggakan di level dunia sekalipun. Sebutlah orang hebat semacam
Lionel Messi, BJ Habibi, Bung Karno, Gus Dur, Hidayat Nur Wahid, Komeng, Iwan
Fals, Bapakku dan lain-lain. Ada yang kenal balakku ? Gak kenal bapakku . . . inilah titik lemah anda yang utama he he he . . .piss
Mereka semua memang orang-orang hebat, akan tetapi disela-sela
kehebatan dirinya, masih saja terselip titik lemah berupa ketidaktahuan itu.
Orang sono menyebutnya blind spot.
Karena adanya blind
spot inilah mereka selalu membutuhkan kehadiran seseorang. Kehadiran seseorang
ini akan bisa menunjukkan kepada dirinya tentang keberadaan titik hitam
tersebut. Kadang dia tidak hanya berperan membantu menunjukkan titik hitam
tersebut kadang malah terus membersamai nya untuk bersama-sama menghilangkan titik
hitam tersebut menjauh dari dirinya. Tak
jarang upaya itu kelak menjadi penyempurna atas kehebatan dirinya.
Diri kita biasanya lahir dengan membawa potensi yang
beraneka ragam. Ibaratnya tubuh kita ini bukanlah sebuah alat music yang berdiri sendiri,
akan tetapi lebih tepat jika digambarkan sebagai sebuah panggung orchestra yang
berisi seperangkat alat music pendukungnya.
Jadi ibarat pagelaran orchestra, berbagai alat music yang
ditampilkan di atas panggung memerlukan harmonisasi dari seorang konduktor. Di titik
inilah urgensi kehadiran seorang konduktor menjadi sangat nyata. Kehadiran konduktor
inilah yang akan mengharmonisasi nada-nada tersebut hingga pergelaran konsernya
menjadi terasa sedap di telinga penikmatnya.
Dalam kehidupan nyata konduktor itu bisa berupa seorang choach, guru, murobbi, bapak, syaikh, teman main dan lain-lain. Asalkan dia bisa berpera sebagai penunjuk arah bagi kita.
Dalam kehidupan nyata konduktor itu bisa berupa seorang choach, guru, murobbi, bapak, syaikh, teman main dan lain-lain. Asalkan dia bisa berpera sebagai penunjuk arah bagi kita.
Dari cerita di atas sebenarnya saya hanya ingin mengungkapkan
hal yang sederhana saja. Di mana saya hanya ingin mengatakan bahwa seberapapun luasnya
anda punya pengalaman dalam menangkarkan burung, seberapapun gilanya anda
menggilai dunia burung, berapapun besarnya budget yang anda siapkan untuk
memburu burung klangenan, anda tetap membutuhkan saya untuk menyempurnakan hobi
anda tersebut. Ciyaaa . . . balik maning nang burung ya . . .
Anda membutuhkan saya bukan untuk anda dudukkan di kursi
pelatih atau diangkat sebaga choach. Itu terlalu mewah buat saya. Anda hanya
perlu mencolek saya untuk teman ngobrol ringan tentang penangkaran jalak bali.
Itu saja.
Sebab memang saya hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang
penangkaran jalak bali. Dari yang sedikit inilah saya siap untuk saling berbagi
lewat obrolan ringan tersebut he he he . . . santé aje bro, jangan serius
begitu dunk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar