Di sebuah lembah seberang Rawa Jombor Klaten, Musang dan Kancil berlomba menanam Timun Emas. Mereka saling unjuk gigi memamerkan kehebatan masing-masing, siapa di antara mereka yang sanggup mengatasi paceklik timun lima tahunan yang mereka alami.
Sementara itu, di bukit sebelah
lembah ini, Pak Kuda biasa panen raya tiga kali dalam setahun. Beliau selalu
panen dalam jumlah yang berlimbah. Sekali panen kadang baru habis dimakan tiga
turunan. Maka belo mereka gemuk-gemuk.
Musang semakin penasaran mengapa
timun yang ditanamnya tidak mau berbuah. Berbagai macam teknik bercocok tanam
telah dicobanya, berpuluh macam pupuk telah dihabiskannya dan berbagai type lahan
telah dijamahnya. Namun pohon timun tak juga mau berbuah. Si Kancilpun mengalami
nasib yang sama. Hatinya nelangsa, nasibnya merana.
Kini mereka telah tua renta. Anak-anak
mereka terpaksa mewarisi kegagalan di tanah gersang ini. Untunglah mereka
memiliki anak-anak yang solih dan solihah, hingga mereka sanggup menerima
wasiat ini.
Tak mau kalah dengan sang bapak, rubah
muda terjun ke kebun dengan all out. Siang malam dia merawat kebun. Spirit
darah mudanya mampu melecut dirinya untuk bekerja dari pagi hingga petang.
Tujuh hari dalam sepekan.
Namun akhir-akhir ini ada yang
berubah pada diri si Kancil Muda. Dia sering nampak termenung. Bahkan pernah
suatu kali, tujuh hari tujuh malam dia menyendiri di tepi rawa, sampai akhirnya
“Aha . . aku ada ide. Bukankah kalau aku
ingin berotot maka aku harus mendatangi Ade Ray . . kalau aku pingin jago main
bola aku harus belajar pada Samsir Alam, lah kalau aku pingin panen pohong yang
hebat maka aku harus berguru pada Pak Mukibat, kalau aku pingin berhasil panen
timun maka aku harus mendatangi Pak Kuda. Aha . . . ini ide yang bagus !”.
Pagi-pagi buta di luar pengetahuan
seisi kampung, sang Kancil Muda berlari menyusuri jalan setapak menuju bukit
perkebunan pak Kuda. Si Kancil Muda membeli bibit sekaligus menimba ilmu pertimunan
dan meminta Pak Kuda untuk menjadi guru berkebunnya. Pak Kudapun menyambut
dengan kaki terbuka.
Wouw . . . magic man ! Hanya selang
dua bulan si Kancil Muda panen berlimpah. Seisi lembah gempar dibuatnya. Mereka
tak menyangka bahwa paceklik lima tahunan, diatasi hanya dalam dua bulan saja.
Luar biasa. Magic man !
Kini seisi kampung diliputi rasa
penasaran. Apa gerangan yang telah terjadi tahun ini hingga panen si Kancil
muda begitu berlimpah ? Berduyun-duyun mereka mendatangi gubug si Kancil. Namun
si Kancil tak jua mau membeberkan apa rahasianya.
Hingga suatu pagi yang cerah, tanpa
banyak bicara, si kancil mengajak seluruh penduduk lembah untuk mendatangi
perkebunan Pak Kuda. Kancil ingin agar mereka melihat dan mengalami sendiri
makna kesuksesan yang dia dapatkan langsung dari ahlinya. Agar mereka semua
belajar berkebun timun langsung dari Pak Kuda. Ya memang mereka harus belajar
dari ahlinya, secara langsung.
Dalam keramaian fauna itu si Kancil
Muda meminta Pak Kuda untuk menjadi mentor berkebun timun di kampung mereka. Si
Kancil ingin agar mereka mendapatkan bimbingan langsung dari ahlinya. Dan
syukur dengan senang hati Pak Kudapun menyetujuinya.
Belajar dari Kancil Muda, berarti jika kita ingin menjadi kaya maka belajarlah
dari Pak Yusuf Kalla, jika kita ingin punya pangkat yang tinggi belajarlah kepada Pak SBY. Jika kita
ingin menangkar burung Jalak Bali yang sukses carilah pak Syam . . .he . . .he
. . .he . . . Ciyus loh !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar