Oleh : Pak
Syam, Penangkar burung Jalak Bali Klaten
Hp.
081280543060, 087877486516, WA. 081280543060, Pin BB. 53E70502, 25D600E9
Berpuluh kali saya menerima sms, bbm, WA,
telepon maupun kunjungan langsung dari para kicau mania untuk omong-omong soal
penangkaran burung jalak bali. Ngomongnya kadang ngalor ngidul alias ke sana kemari, tapi
under-underane nanti balik maning nang penangkaran burung jalak bali. Ibaratnya
sejauh-jauh blekok terbang, kemana saja dia muternya dia bakal balik ke sawah juga. Biasanya begitu . . .
Setelah balik maning nang penangkaran
burung jalak bali, obrolan wabil khusus akan mengerucut kepada tema “gimana
caranya menjadi penangkar burung jalak bali yang joss . . . . ? Ini dia topic obrolan
yang paling disukai oleh para penangkar jalak bali dan calon penangkar jalak
bali yang berencana menerjuni dunia penangkaran.
Satu hal yang sangat sering saya temui
dalam obrolan tersebut adalah seringnya saya mendeteksi adanya “penyakit mental
sukses” dari para penangkar maupun calon penangkar burung jalak bali tersebut. “Penyakit
mental sukse” ini adalah bahasanya orang kota. Dan kata orang-orang kota
tersebut, jika penyakit tersebut masih bersarang dalam fikiran kita, maka
impian untuk menjadi penangkar burung jalak bali yang josss . . . hanya sekedar
mimpi semata. Waduh gawat . . .
Kata mereka “penyakit mental sukses”
wujudnya berupa pikiran yang ngerecoki, ngganggu, nggandoli seorang penangkar
untuk mengembangkan penangkarannya.
Dari mana saya bisa mendeteksi bahwa
sebagian di antara mereka mengidap penyakit mental yang bakal menghalangi
mereka untuk mewujudkan diri mereka menjadi penangkar burung jalak bali yang
josss tersebut ?
Saya mendeteksi keberadaan mental
penghalangan tersebut dari cara berfikirnya. Cara berfikir ini biasanya saya
ambil dari cerita mereka sendiri. Atau dari pertanyaan yang mereka ajukan.
Misalnya begini. Ada seorang calon
penangkar burung jalak bali dari Jombang Jawa Timur, sebut saja namanya Heru.
Dia cerita bahwa dia sangat berkeinginan untuk menjadi penangkar burung jalak
bali. Namun cerita yang panjang itu diakhiri dengan sebuah pertanyaan yang
menjadi pemutus keinginannya untuk menjadi penangkar burung jalak bali
tersebut, begini “Kalau saya nanti menjadi penangkar, kemudian burung-burung
saya sudah beranak pinak dengan banyak, apakah nanti saya bisa memasarkan”.
Mas Heru ini bercerita bahwa
sepengetahuan beliau pasar burung jalak bali tidak seluas burung lain seperti
burung dara, kenari, murai batu, kacer dan lain-lain. Karena potensi pasarnya
tidak seluas burung-burung tersebut dan segmennya hanya kelas orang gedongan
maka jika nanti beliau sudah berhasil mengembangkan burung jalak bali dalam
penangkarannya maka dia akan susah sendiri karena dia pasti kesulitan untuk
memasarkannya.
Kalau begitu fikiran penjenengan ya
bagus, artinya penjenengan orangya berhati-hati dalam mengambil keputusan. Dan
itu bagus juga sih . . . Tapi dalam hati yang paling dalam saya memaknai
kehati-hatian beliau ini sebagai penyakit mental sukses, karena saking
hati-hatinya menyebabkan dia tidak jadi melangkah. Menurut saya sikap
hati-hatinya kurang proporsional, sehingga malah berubah menjadi penyakit
mental sukses.
Di lain waktu, seorang calon penangkar
lainnya menceritakan keinginannya untuk menjadi penangkar jalak bali. Dengan
bahasa halus dia mengatakan bahwa “saya minta bimbingannya pak syam”. Setelah
bercerita panjang lebar akhirnya keinginannya untuk menjadi penangkar burung
jalak bali yang josss . . .tersebut kepentok pada rasa takutnya sendiri karena
menurut dia menangkarkan burung jalak bali itu sulit.
Karena menangkarkan burung jalak bali itu
sulit maka dia khawatir jika sudah kadung membeli burung jalak bali yang
berharga mahal itu nantinya gagal menangkarkannya. Untuk menghindari kerugian,
mending investasi pada penangkaran burung yang harganya terjangkau tapi
memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi, seperti kenari atau murai batu
biasa.
Ya . . . terserahlah, karena pada
akhirnya keputusan untuk menangkarkan burung jenis apa, semuanya terpulang
kepada penjenengan sendiri. Sama dengan kasus yang pertama di atas, dalam kasus
ini saya juga mengkategorikan kekhawatirannya sebagai penyakit mental juga.
Calon penangkar burung jalak bali lain
yang juga menceritakan kepada saya adalah calon penangkar burung jalak bali
dari Batang Jawa Tengah dan Kediri Jawa Timur ( yang sedang mengadu nasib di Malaysia,
sebagai TKI). Dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama beliau berdua
menceritakan kasus pembelian burung jalak bali untuk ditangkarkan. Namun
keduanya memeiliki nasib yang sama yaitu tertipu. Uang muka yang telah dia
transfer menguap begitu saja karena paket kiriman burung tidak kunjung diterima
dan penjual tidak bisa lagi dihubungi.
Dalam kasus ini saya mengkategorikan
calon penangkar kita ini sebagai orang yang terkena penyakit mental sukses.
Karena mereka berdua ini begitu mudahnya ditipu oleh seseorang yang mengaku
pedagang burung jalak bali. Pancingan dari sang penipu langsung saja ditangkap
begitu penjual menawarkan harga burung jalak bali dengan harga yang sangat
miring. Harga yang ditawarkan kurang dari separoh harga burung jalak bali di pasaran.
Demi didengarnya ada penjual burung jalak bali yang menjual dengan harga yang
sangat murah maka dia langsung menyetuji. Inilah kesalahan mereka. Di sinilah
penyakit mental sukses itu bersarang.
Jika mereka berdua tidak terjangkiti
penyakit mental sukses, maka dengan melihat harga yang semurah itu, mestinya
sang calon penangkar burung jalak bali segera menaruh curiga, bukan justru
merasa mendapatkan keberuntungan.
Dalam prakteknya memang banyak calon
penangkar yang berencana membel burung jalak bali yang mendasarkan keputusannya
kelak kepada harga burung semata-mata. Dia hanya focus pada harga yang murah
saja. Padahal sesuai hukum pasar bahwa harga bersesuaian dengan kualitas
barang. Kadang memang ada sih, barang dengan kualitasnya bagus tapi dijual dengan
harga di bawah standart. Namun hal ini tentu saja frekwensinya jarang.
Nah calon penangkar burung jalak bali
kita kali ini, rupanya menganut prinsip ini. Mungkin mereka berdua berfikiran
bahwa “Apa salahnya jika ada burung jalak bali berharga murah saya beli, toh
kualitas burung jalak bali itu sama saja”. Maka dibelilah burung jalak bali
berharga miring tersebut, namun ternyata dugaannya meleset, dia tertipu.