Rabu, 02 April 2014

Penangkar Jalak Bali Klaten : Kearifan Tradisi Awig-Awig Hidupkan Kembali Jalak Bali


Masyarakat dilarang menangkap atau membunuh segala jenis burung. Jika melanggar, akan didenda hingga dikucilkan masyarakat.

Pagi hari di Pulau Nusa Penida kini ada pemandangan baru. Tak sulit menjumpai burung jalak bali bermain-main; di dahan kering, belakang pura (Pura Puseh), hingga di ketinggian pohon kelapa.


Pemandangan seperti itu ditemui di Kecamatan Klungkung, Bali.  Sebelumnya,  beberapa ekor jalak bali (Leucopsar rothschildi) terlihat bermain-main di pepohonan kelapa, halaman depan Hotel Ring Sameton di sekitar permukiman.

Jenis burung dilindungi dan berkategori apendiks I CITES itu hasil pelepasliaran tahun 2006. Meski secara administratif Nusa Penida masuk wilayah Provinsi Bali, jalak bali atau curik bali hanya ditemui di Taman Nasional Bali Barat.

Nusa Penida bukan habitat asli burung berukuran sekitar 25 sentimeter itu. Di tempat aslinya, curik bali hanya berjumlah puluhan ekor.

Pelepasliaran waktu itu mengundang perdebatan di kalangan konservasionis dan pemerhati burung. Meski begitu, tahun 2006 tetap dilepasliarkan 65 jalak bali di Pulau Nusa Penida di timur Pulau Nusa Lembongan. Tahun 2011 dilepas lagi 10 ekor. Hasil survei tahun 2012, diperkirakan jumlahnya 100-200 ekor.

”Kunci keberhasilan adalah dukungan masyarakat sini,” kata I Gede Nyoman Bayu Wirayudha, Direktur Friends of the National Parks Foundation.

Sejak awal menjalankan proyek pelepasliaran jalak bali ke Nusa Penida, hal pertama yang dilakukannya adalah mendekati kelompok masyarakat adat. Melalui pendekatan intens, masyarakat 25 desa adat (kini 46 desa adat) bersepakat membuat awig-awig atau peraturan adat.

Masyarakat dilarang menangkap atau membunuh segala jenis burung, terutama burung curik bali. Jika melanggar, dipaksa membayar denda hingga dilakukan upacara adat dan dikucilkan masyarakat.

Itu tak hanya berlaku bagi masyarakat asli Bali. Warga luar Bali yang kedapatan menangkap burung di Nusa Penida didenda.

Sanksinya bervariasi di setiap desa. Di Desa Ped, misalnya, sanksi bagi penangkap burung sebesar harga burung di pasaran dan burung yang ditangkap wajib dilepas. ”Kalau burung mati atau sudah dijual, dendanya dua kali lipat,” kata Bayu.

Pada awal penerapan awig-awig, tahun 2006-2007, di Desa Ped, seorang warga pernah didenda dan dipaksa minta maaf karena mencuri burung tekukur.

Diapresiasi

Inisiatif masyarakat seperti itu diapresiasi Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan. Ia mendorong pemda memberi perhatian kepada kelompok masyarakat yang masih menjaga kelestarian alam. ”Kalau perlu, ada semacam insentif bagi masyarakat seperti ini,” katanya di sela-sela mengikuti pertemuan APEC di Bali, awal Oktober 2013.

Sayang, belum tampak langkah nyata dari pemerintah daerah untuk mendukung kelestarian burung curik bali. Padahal, burung ini simbol Pemerintah Provinsi Bali.

Tahun 2000-an, burung endemis Bali ini sempat diributkan berbagai kalangan. Sebab, populasinya merosot dan bisa dihitung dengan jari di habitat aslinya, TN Bali Barat.

Di luar negeri, seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Jepang, curik bali sukses dibiakkan dan dikomersialkan. Di dalam negeri, penghobi burung di Bandung, Surabaya, dan Bali pun mampu. Harga burung ini dalam kondisi ”jadi” bisa Rp 25 juta per ekor.

Temuan pertama curik bali dilaporkan penemunya, yakni Baron Stressmann, ahli burung berkebangsaan Inggris, 24 Maret 1911. Kini di Penida, si curik tinggal di lubang pohon kelapa yang ditinggalkan tupai. Siulan dan keindahan bulunya turut melukis alam Nusa Penida.

(Ichwan Susanto/Kompas Cetak)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar