Selasa, 08 Oktober 2013

Penangkar Jalak Bali Klaten : Kebanting-Banting di Arena Breeding ( bag. 2 )


Terus saya merambah ke spcies lain. Beberapa anakan jalak suren saya boyong ke rumah. Sisa tanah di belakang rumah saya sulap . . . sim salabim jadi kandang jalak suren. (saya main sulapnya ngundang pak tukang). Tidak sampai satu tahun jalak suren juga produk dengan baik. Syukur !


Kesuksesan loncat species dari kenari ke jalak suren ini merangsang saya untuk meloncat lagi ke species lainnya. Kali ini saya tergoda dengan cucak rowo. Akhirnya empat pasang cucak rowo saya borong ke rumah. Ada yang sudah dewasa ada yang masih nangkring di taman kanak-kanak yang baru saja ngevoor kering. Puas rasanya hati ini.

Namun apa yang terjadi sodara-sodara . . .? Ternyata setelah saya rumat bertahun-tahunpun saya tidak mendapatkan sebutir telurpun dari perut mereka. Setelah kurang lebih selama enam tahun saya merawat mereka, tetap saja tidak mau memberikan keturunan kepada saya. Dan lebih dari itu ternyata kisah ngebreeding cucak rowo ini berakhir tragis sodara-sodara.

Karena akhirnya cucak rowo saya jatuh ke tangan maling. Tidak tanggung-tanggung dia menggondol dua pasang, saat kami tinggal sholat terawih ke masjid bersama seluruh keluarga. Wong poso-poso kok yo nyolong to le le . . . . Akhirnya saya putuskan untuk sementara saya stop dulu dari arena cucak rowo.

Suatu hari nanti kalau saya sudah mendapatkan ilmu ngebreeding cucak rowo yang handal, I’m come back alias balik maning. Namun sampai sekarang, sudah sekitar tiga tahunan saya meninggalkannya, masih belum punya niat untuk balik maning. Pingin sih pingin tapi sampai sekarang belum melangkah.



Loncatan yang kedua ini rupanya gagal. Gagal di cucak rowo saya pingin ngebreeding Murai Batu. Gara-gara teman saya yang ngebreeding Murai Batu jenis medan, dengan kondisi breeding yang biasa-biasa saja ternyata produktifitas dari  tujuh atau delapan kandangnya membuat saya ngiler. Terus saya pesan dua pasang. Satu pasang dewasa satu pasang anakan. Mangstab !
Sepasang Murai Medan yang sudah berjodoh dan siap ke pelaminan saya boyong pulang ke rumah. Seneng bukan kepalang hati ini ketika sebulan kemudian sudang angkut-angkut sarang. Wah ini pertanda baik, kata hati saya.

Benar juga sekitar dua minggu kemudian ternyata betinanya sudah bertelur. Namun sayang seribu sayang telur pertama ini dibuang. Ah . . . itu sih biasa, ini kan baru telur pertama, hibur hatiku kepada diriku sendiri. Okelah kalau begitu, lanjut . . .

Bagaimana dengan telur yang kedua, ketiga  dan seterusnya, apakah bisa menetas dengan baik. ? Untuk menjawab pertanyaan ini rasanya hati ini masih perih. Sebab mau tidakmau saya harus mengingat-ingat kembali masih sedih itu. Walaupun ini tidak sepedih kasus cucak rowo, karena memang kejadiannya tidak setragis pada kasus cucak rowo di atas.

hanya saja hati ini masih agak perih, karena ternyata telur kedua, ketiga dan setrusnya tidak pernah nongol lagi. Lho kok bisa ? Apa yang telah terjadi dengannya ? Apakah angkremnya terganggu oleh tikus yang jrontalan di atas kandang, atau ekstra foodingnya salah jadwal sehingga mengganggu siklus bertelurnya ?

Oh. . .  tidak. Penyebabnya bukan soal itu. Tapi disebabkan oleh kematian pejantannya. Ooo . . .kok bisa ? Itulah kawan . . . beternak itu memang gampang-gampang susah. Ada banyak variable yang mesti dimanage dengan baik. Singkat cerita kesuksesan ngebreeding Murai Batu saya, harus tertunda. Untuk kali ini saya tidak menyebutnya sebagai kegagalan ngebreeding, tapi kesuksesan ngebreeding Murai batu saya masih tertunda.

bersambung . . . . . . ke gerbong berikutnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar