Minggu, 06 Oktober 2013

Penangkar Jalak Bali Klaten : Kebanting-Banting di Arena Breeding ( bag. 1)


Sejak awal saya terjun di dunia ternak menternak alias ngebreeding manuk, saya telah menemukan keanehan demi keanehan. Misalnya ada orang yang ngebet banget pingin ngebreeding, terus dia beli indukan ( bedol kandang) tapi setelah berbulan-bulan dia ngebreeding bahkan sampai menghabiskan semua nama bulan, eeee . . . ternyata  indukannya tetep nggak mau produk. Yang model begini ini banyak contohnya.


Tapi sebaliknya. Ada orang yang ngebreeding ‘ala kadarnya’ atau kalau dalam bahasa jawa diistilahkan ‘ora niyat’ . . .e e e jebulnya kok malah produknya rutin. Tiap sebulan sekali panen. Indukannya produktif sekali.
Saya menemukan peternak model yang kedua ini, lumayan banyak. 

Teman saya ngebreeding cucak rowo. Dia punya beberapa indukan yang cukup produktif. Kalau saya lihat kandangnya, baik ukuran maupun suasananya dalam kandang, lingkungan, perawatan ( fooding + ekstra foodingnya ) biasa-biasa saja. Tapi dari ngebreeding yang biasa-biasa saja ( menurut saya ) menghasilkan produk yang luar biasa, terutama dari produktifitasnya. Kalau soal kualitas di lapangan saya belum pantau. Tapi yang jelas indukannya produktif.

Ada lagi teman saya yang ngebreeding macam-macam burung mulai jalak suren, jalak putih, murai batu, kenari, cucak rowo dan love bird. Sebagian besar burungnya produk dengan baik, terutama burung Murai Batunya. Dan lagi-lagi kalau dilihat sepintas, dia ngebreeding dengan cara yang biasa-biasa saja. Kandangnya, baik ukuran maupun suasananya dalam kandang, lingkungan, perawatan ( fooding + ekstra foodingnya ) biasa-biasa saja, sama dengan teman saya yang pertama tadi.

Bayangkan ketika banyak orang ngebreeding dengan cara memanjakan burung; kandang dibuat mewah ada saung, di tambah kolam dengan air gemericik, tiap kandang dipasang CCTV, dan lain-lain. Tapi produktivitas breedingnya toh tidak sepadan dengan biaya yang dikeluarkan. Padahal bagi seorang breeder, keberhasilan kegiatan ngebreedingnya, diukur dari berapa banyak piyikan yang dihasilkan dari indukan yang dimilikinya. Ini ukuran paling standart. Di tahap berikutnya baru orang bicara tentang kualitas dari produk farmnya. Tapi ayng pertama dilihat adalah produktifitasnya.




Itu keanehan yang pertama. Terus yang kedua tentang keberhasilan ngebreeding satu species itu ternyata ( menurut saya) tidak otomatis bisa ditrapkan untuk species yang lain. Selama ini saya sudah mencoba untuk ngebreeding beberapa species mulai dari kenari, jalak suren, cucak rowo, murai batu dan jalak bali. Masing-masing species ini memiliki catatan sendiri-sendiri, dimana catatan antar species ini tidak saling menjiplak alais beda-beda.

Awalnya saya mencoba ngebreeding kenari local. Alhamdulillah lancar. Dalam hitungan bulan sudah beranak pinak dalam jumlah yang lumayan banyak.
Terus saya merambah ke spcies lain. Beberapa anakan jalak suren saya boyong ke rumah. Sisa tanah di belakang rumah saya sulap . . . sim salabim jadi kandang jalak suren. (saya main sulapnya ngundang pak tukang). Tidak sampai satu tahun jalak suren juga produk dengan baik. Syukur !

sengaja coretan ini saya buat sambung menyammbung seperti sepuuuurrrr . . . . .



Tidak ada komentar:

Posting Komentar