Senin, 10 Februari 2014

Penangkar Jalak Bali Klaten : Si Kancil Tidak Mau Nyolong Timun Lagi


Di sebuah lembah seberang Rawa Jombor Klaten, Musang dan Kancil berlomba menanam Timun Emas. Mereka saling unjuk gigi memamerkan kehebatan masing-masing, siapa di antara mereka yang sanggup mengatasi paceklik timun lima tahunan yang mereka alami.
Sejak lima tahun lalu, siang malam mereka khusu’ mengurus kebun. Tiga bulan berlalu, tak satupun bunga timun yang mekar. Setahun . . . tiga tahun . . . empat tahun telah mereka habiskan untuk berkebun timun. Kini tahun kelima sudah hampir berakhir, namun buah timun belum juga muncul.
Sementara itu, di bukit sebelah lembah ini, Pak Kuda biasa panen raya tiga kali dalam setahun. Beliau selalu panen dalam jumlah yang berlimbah. Sekali panen kadang baru habis dimakan tiga turunan. Maka belo mereka gemuk-gemuk.
Musang semakin penasaran mengapa timun yang ditanamnya tidak mau berbuah. Berbagai macam teknik bercocok tanam telah dicobanya, berpuluh macam pupuk telah dihabiskannya dan berbagai type lahan telah dijamahnya. Namun pohon timun tak juga mau berbuah. Si Kancilpun mengalami nasib yang sama. Hatinya nelangsa, nasibnya merana.
Kini mereka telah tua renta. Anak-anak mereka terpaksa mewarisi kegagalan di tanah gersang ini. Untunglah mereka memiliki anak-anak yang solih dan solihah, hingga mereka sanggup menerima wasiat ini.
Tak mau kalah dengan sang bapak, rubah muda terjun ke kebun dengan all out. Siang malam dia merawat kebun. Spirit darah mudanya mampu melecut dirinya untuk bekerja dari pagi hingga petang. Tujuh hari dalam sepekan.
Namun akhir-akhir ini ada yang berubah pada diri si Kancil Muda. Dia sering nampak termenung. Bahkan pernah suatu kali, tujuh hari tujuh malam dia menyendiri di tepi rawa, sampai akhirnya “Aha . .  aku ada ide. Bukankah kalau aku ingin berotot maka aku harus mendatangi Ade Ray . . kalau aku pingin jago main bola aku harus belajar pada Samsir Alam, lah kalau aku pingin panen pohong yang hebat maka aku harus berguru pada Pak Mukibat, kalau aku pingin berhasil panen timun maka aku harus mendatangi Pak Kuda. Aha . . . ini ide yang bagus !”.
Pagi-pagi buta di luar pengetahuan seisi kampung, sang Kancil Muda berlari menyusuri jalan setapak menuju bukit perkebunan pak Kuda. Si Kancil Muda membeli bibit sekaligus menimba ilmu pertimunan dan meminta Pak Kuda untuk menjadi guru berkebunnya. Pak Kudapun menyambut dengan kaki terbuka.
Wouw . . . magic man ! Hanya selang dua bulan si Kancil Muda panen berlimpah. Seisi lembah gempar dibuatnya. Mereka tak menyangka bahwa paceklik lima tahunan, diatasi hanya dalam dua bulan saja. Luar biasa. Magic man !
Kini seisi kampung diliputi rasa penasaran. Apa gerangan yang telah terjadi tahun ini hingga panen si Kancil muda begitu berlimpah ? Berduyun-duyun mereka mendatangi gubug si Kancil. Namun si Kancil tak jua mau membeberkan apa rahasianya.
Hingga suatu pagi yang cerah, tanpa banyak bicara, si kancil mengajak seluruh penduduk lembah untuk mendatangi perkebunan Pak Kuda. Kancil ingin agar mereka melihat dan mengalami sendiri makna kesuksesan yang dia dapatkan langsung dari ahlinya. Agar mereka semua belajar berkebun timun langsung dari Pak Kuda. Ya memang mereka harus belajar dari ahlinya, secara langsung.
Dalam keramaian fauna itu si Kancil Muda meminta Pak Kuda untuk menjadi mentor berkebun timun di kampung mereka. Si Kancil ingin agar mereka mendapatkan bimbingan langsung dari ahlinya. Dan syukur dengan senang hati Pak Kudapun menyetujuinya.
Belajar dari Kancil Muda, berarti  jika kita ingin menjadi kaya maka belajarlah dari Pak Yusuf Kalla, jika kita ingin punya pangkat yang  tinggi belajarlah kepada Pak SBY. Jika kita ingin menangkar burung Jalak Bali yang sukses carilah pak Syam . . .he . . .he . . .he . . . Ciyus loh !


Tidak ada komentar:

Posting Komentar