Senin, 03 Agustus 2015

Menikmati Hidup ala Tukang Burung ( Jalak Bali )

Pagi itu, saya punya janji untuk mengantarkan burung Jalak Bali pesanan seorang kicau mania di Pondok Rangon Cipayung Jakarta Timur. Dengan menumpang ojek kami melaju dari Pejompongan Jakarta Pusat ke Cipayung. Ini adalah perjalanan kedua setelah semalam saya menyelesaikan etape pertama dari Klaten menuju Jakarta dengan kereta api. Perjalanan yang cukup mengasikkan. Banyak hikmah yang saya peroleh . . . alhamdulillah.

 

 Pun saat sampai di tempat tujuan, banyak hikmah yang saya petik

 

Sesampai di rumah beliau, saya baru ngeh. Ternyata beliau pensiunan BUMN ternama yang tentu saja secara ekonomi sangat mapan. Menempati rumah baru di lahan seluas delapan ratusan meter persegi, cukuplah sebagai saksi atas kemapanan itu. Tak heran jika kandang burung yang disediakan untuk menyambut kedatangan burung jalak bali yang saya kirim, berukuran besar, ber-relief cantik dengan pancuran air yang gemericik. Rindangnya pohon belimbing berdiri kukuh di dalamnya dan dibalut dalam suasana Jakarta pinggiran yang masih menyisakan rasa damai secara nyata, membuat jalak bali yang baru saja saya lepas menjadi betah berada di kandang baru ini. Saya pun betah berlama-lama tinggal di sini.

 

 

Apa lagi tuan rumahnya sangat ramah layaknya orang kampong. Berbagai hidangan beliau sajikan, ada kolak pisang kepok kuning campur ubi dan kolang kaling ditambah aneka jajanan lebaran. Anggur segar dan buah kelengkeng juga turut menghiasi hidangan siang itu. Suasana yang santai membuat kami terlena hingga tak terasa hidangan itu ludes hamper separuhnya.

 

Di rumah besar ini beliau hanya tinggal berdua dengan istrinya. Karena ketiga anaknya sudah mapan dengan pekerjaan mereka masing-masing.

 

Saat saya tanyakan, apakah burung jalak bali ini kelak bakal ditangkarkan ? Beliau jawab dengan enteng, kalau mau nyarang ya syukur . . . kalau tidak ya nggak apa-apa . . . karena sebenarnya burung jalak bali ini hanya untuk klangenan ( hiburan ) saja . . .
Ya . . .beliau membeli burung jalak bali, yang utama adalah sebagai hiburan. Ini motif yang lazim di kalangan oran-orang yang secara ekonomi sudah mapan, kemudian mereka memasuki dunia kicau maniak untuk mengisi kegiatan hari tua.

 

Tentu saja motif ini berbeda dengan motif kicau maniak pada umumnya, saat membeli burung. Umumnya motif mereka adalah untuk ditangkarkan, agar memberikan manfaat ekonomi secara konkrit. Sebuah motif yang tentu saja sangat mulia. Tapi dalam kontek “kenikmatan hidup” keduanya memiliki lakon yang berbeda.

 

Sepulang mengantar burung ke rumah beliau, saya kepikiran tentang “nikmat Tuhan yang manakah yang hendak kamu cari lagi”. Pengembaraan pikiran ini makin memperjelas posisi kenikmatan hidup yang saya maksudkan dalam paragrap di atas.

 

Pikiran saya mulai mengembara memasuki lingkungan beliau. Adalah seorang pensiunan BUMN yang secara ekonomi tentu saja mapan, anak-anaknya juga sudah mapan dalam karier mereka masing-masing, tinggal di rumah besar dengan lahan yang luas. Siapapun saja orangnya, dalam kondisi seperti itu tentu tambahan penghasilan sebesar sepuluh juta atau lima belas juta rupiah dari penangkaran sepasang burung jalak bali, tambahan nikmat yang dirasakan tidaklah seperti yang dirasakan oleh para penangkar burung yang biasa main di kelas jalak-jalakan, apa lagi di kelas kenari lokal.

 

Bagi mayoritas penangkar burung yang berskala kecil penghasilan sepuluh juta atau lima belas juta rupiah, tentu bernilai cukup besar. Uang sebanyak itu bisa digunakan untuk mengepulkan dapur mereka sebulan, memenuhi kebutuhan sekolah anak dan membiayai banyak kenikmatan yang lainnya. Ya . . . uang sebesar itu telah mampu membiayai banyak kenikmatan hidup . . .

 

Hal ini tentu saja berbeda dengan rasa yang diperoleh oleh orang-orang yang sudah mapan itu. Seorang pensiunan menteri, mantan bupati atau walikota, anggota DPR yang memiliki tambahan penghasilan sebesar nominal di atas tentu saja tidak akan bisa member kenikmatan sebesar yang diperoleh penangkar kelas bawah.

 

 Dari situ pikiran saya mulai mengerucut; bahwa kenikmatan hidup sering kali kita rasakan pada saat kita masih merangkak, menggapai kebahagiaan hidup. Bukannya saat kita sudah mapan kelak. Itu yang saya rasakan.

 

Misalnya saat saya sudah harus membayar SPP anak saya, kemudian saya mendapatkan konsumen yang membeli burung jalak bali saya, saat itulah kenikmatan hidup ini terasa menjalar dalam relung hati ini. Saat saya berkeiningan untuk mengumrohkan ayah saya, kemudian Allah mengirimkan rejeki ke dalam kandang-kandang penangkaran saya. Saat seperti itu menyambut kehadiran piyik burung jalak bali menjadi tersa sangat nikmat. Kiriman rejeki di saat seperti ini tersa berpuluh kali lipat dibandingkan saat kita tidak dalam posisi membutuhkan pembiayaan dalam hidup.

 

Pengalaman-pengalaman seperti ini semakin menguatkan keyakinan saya bahwa yang namanya nikmat hidup itu harus kita hadirkan detik ini juga. Kenikmatan hidup tidaklah kita tunggu ketika kita kelak sudah hidup mapan. Tidak ! Kenikmatan harus kita hadirkan sekarang juga pada level di mana kita berada saat ini. Tak peduli kita saat ini berada dalam kondisi dan level apapun, kenikmatan wajib dihadirkan dalam hati.

 

Gak menunggu mapan ? Tidak. Sebab jika kita menunggu saatnya mapan, maka kemapanan itu akan meminta jenis maupun kuantitas dari variable nikmat yang berbeda. Jika kita kelak sudah mapan maka kenikmatan hidup mugkin hanya akan kita peroleh melalui nominal yang berlipat, melalui mobil yang berkelas, melalui wisata yang jauh ke ujung dunia. Uang yang hanya puluhan juta, mobil yang biasa-biasa saja, piknik ke ragunan tidak lagi mampu menghadirkan kenikmatan dalam hidup.

 

Begitulah pengalaman saya sebagai tukang burung. Kenikmatan hidup tidak harus menunggu kita memiliki berpuluh kandang dengan berpuluh indukan.

 

Kenikmatan hidup seorang professional tidak harus menunggu menjadi manajer, direktur ataupun kepala cabang. Kenikmatan hidup seorang birokrat tidak harus menunggu hingga menjadi kepala dinas, dirjen atau menjadi sekjen kementerian.

 

Sebagaimana kenikmatan hidup seorang santri juga tidak harus menunggu sampai dia berada di level kyai, kenikmatan hidup orang awan tidak mesti menanti sampai kelak dia berada di level ulama.

 

Itulah pikiran saya sebaga tukang burung, sederhana kan ? Bagaimana pandangan anda ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar