Menikmati Hidup ala Tukang Burung ( Jalak Bali )
Pagi
itu, saya punya janji untuk mengantarkan burung Jalak Bali pesanan
seorang kicau mania di Pondok Rangon Cipayung Jakarta Timur. Dengan
menumpang ojek kami melaju dari Pejompongan Jakarta Pusat ke Cipayung.
Ini adalah perjalanan kedua setelah semalam saya menyelesaikan etape
pertama dari Klaten menuju Jakarta dengan kereta api. Perjalanan yang
cukup mengasikkan. Banyak hikmah yang saya peroleh . . . alhamdulillah.
Pun saat sampai di tempat tujuan, banyak hikmah yang saya petik
Sesampai
di rumah beliau, saya baru ngeh. Ternyata beliau pensiunan BUMN ternama
yang tentu saja secara ekonomi sangat mapan. Menempati rumah baru di
lahan seluas delapan ratusan meter persegi, cukuplah sebagai saksi atas
kemapanan itu. Tak heran jika kandang burung yang disediakan untuk
menyambut kedatangan burung jalak bali yang saya kirim, berukuran besar,
ber-relief cantik dengan pancuran air yang gemericik. Rindangnya pohon
belimbing berdiri kukuh di dalamnya dan dibalut dalam suasana Jakarta
pinggiran yang masih menyisakan rasa damai secara nyata, membuat jalak
bali yang baru saja saya lepas menjadi betah berada di kandang baru ini.
Saya pun betah berlama-lama tinggal di sini.
Apa
lagi tuan rumahnya sangat ramah layaknya orang kampong. Berbagai
hidangan beliau sajikan, ada kolak pisang kepok kuning campur ubi dan
kolang kaling ditambah aneka jajanan lebaran. Anggur segar dan buah
kelengkeng juga turut menghiasi hidangan siang itu. Suasana yang santai
membuat kami terlena hingga tak terasa hidangan itu ludes hamper
separuhnya.
Di
rumah besar ini beliau hanya tinggal berdua dengan istrinya. Karena
ketiga anaknya sudah mapan dengan pekerjaan mereka masing-masing.
Saat
saya tanyakan, apakah burung jalak bali ini kelak bakal ditangkarkan ?
Beliau jawab dengan enteng, kalau mau nyarang ya syukur . . . kalau
tidak ya nggak apa-apa . . . karena sebenarnya burung jalak bali ini
hanya untuk klangenan ( hiburan ) saja . . .
Ya . . .beliau membeli
burung jalak bali, yang utama adalah sebagai hiburan. Ini motif yang
lazim di kalangan oran-orang yang secara ekonomi sudah mapan, kemudian
mereka memasuki dunia kicau maniak untuk mengisi kegiatan hari tua.
Tentu
saja motif ini berbeda dengan motif kicau maniak pada umumnya, saat
membeli burung. Umumnya motif mereka adalah untuk ditangkarkan, agar
memberikan manfaat ekonomi secara konkrit. Sebuah motif yang tentu saja
sangat mulia. Tapi dalam kontek “kenikmatan hidup” keduanya memiliki
lakon yang berbeda.
Sepulang
mengantar burung ke rumah beliau, saya kepikiran tentang “nikmat Tuhan
yang manakah yang hendak kamu cari lagi”. Pengembaraan pikiran ini makin
memperjelas posisi kenikmatan hidup yang saya maksudkan dalam paragrap
di atas.
Pikiran
saya mulai mengembara memasuki lingkungan beliau. Adalah seorang
pensiunan BUMN yang secara ekonomi tentu saja mapan, anak-anaknya juga
sudah mapan dalam karier mereka masing-masing, tinggal di rumah besar
dengan lahan yang luas. Siapapun saja orangnya, dalam kondisi seperti
itu tentu tambahan penghasilan sebesar sepuluh juta atau lima belas juta
rupiah dari penangkaran sepasang burung jalak bali, tambahan nikmat
yang dirasakan tidaklah seperti yang dirasakan oleh para penangkar
burung yang biasa main di kelas jalak-jalakan, apa lagi di kelas kenari
lokal.
Bagi
mayoritas penangkar burung yang berskala kecil penghasilan sepuluh juta
atau lima belas juta rupiah, tentu bernilai cukup besar. Uang sebanyak
itu bisa digunakan untuk mengepulkan dapur mereka sebulan, memenuhi
kebutuhan sekolah anak dan membiayai banyak kenikmatan yang lainnya. Ya .
. . uang sebesar itu telah mampu membiayai banyak kenikmatan hidup . . .
Hal
ini tentu saja berbeda dengan rasa yang diperoleh oleh orang-orang yang
sudah mapan itu. Seorang pensiunan menteri, mantan bupati atau
walikota, anggota DPR yang memiliki tambahan penghasilan sebesar nominal
di atas tentu saja tidak akan bisa member kenikmatan sebesar yang
diperoleh penangkar kelas bawah.
Dari
situ pikiran saya mulai mengerucut; bahwa kenikmatan hidup sering kali
kita rasakan pada saat kita masih merangkak, menggapai kebahagiaan
hidup. Bukannya saat kita sudah mapan kelak. Itu yang saya rasakan.
Misalnya
saat saya sudah harus membayar SPP anak saya, kemudian saya mendapatkan
konsumen yang membeli burung jalak bali saya, saat itulah kenikmatan
hidup ini terasa menjalar dalam relung hati ini. Saat saya berkeiningan
untuk mengumrohkan ayah saya, kemudian Allah mengirimkan rejeki ke dalam
kandang-kandang penangkaran saya. Saat seperti itu menyambut kehadiran
piyik burung jalak bali menjadi tersa sangat nikmat. Kiriman rejeki di
saat seperti ini tersa berpuluh kali lipat dibandingkan saat kita tidak
dalam posisi membutuhkan pembiayaan dalam hidup.
Pengalaman-pengalaman
seperti ini semakin menguatkan keyakinan saya bahwa yang namanya nikmat
hidup itu harus kita hadirkan detik ini juga. Kenikmatan hidup tidaklah
kita tunggu ketika kita kelak sudah hidup mapan. Tidak ! Kenikmatan
harus kita hadirkan sekarang juga pada level di mana kita berada saat
ini. Tak peduli kita saat ini berada dalam kondisi dan level apapun,
kenikmatan wajib dihadirkan dalam hati.
Gak
menunggu mapan ? Tidak. Sebab jika kita menunggu saatnya mapan, maka
kemapanan itu akan meminta jenis maupun kuantitas dari variable nikmat
yang berbeda. Jika kita kelak sudah mapan maka kenikmatan hidup mugkin
hanya akan kita peroleh melalui nominal yang berlipat, melalui mobil
yang berkelas, melalui wisata yang jauh ke ujung dunia. Uang yang hanya
puluhan juta, mobil yang biasa-biasa saja, piknik ke ragunan tidak lagi
mampu menghadirkan kenikmatan dalam hidup.
Begitulah
pengalaman saya sebagai tukang burung. Kenikmatan hidup tidak harus
menunggu kita memiliki berpuluh kandang dengan berpuluh indukan.
Kenikmatan
hidup seorang professional tidak harus menunggu menjadi manajer,
direktur ataupun kepala cabang. Kenikmatan hidup seorang birokrat tidak
harus menunggu hingga menjadi kepala dinas, dirjen atau menjadi sekjen
kementerian.
Sebagaimana
kenikmatan hidup seorang santri juga tidak harus menunggu sampai dia
berada di level kyai, kenikmatan hidup orang awan tidak mesti menanti
sampai kelak dia berada di level ulama.
Itulah pikiran saya sebaga tukang burung, sederhana kan ? Bagaimana pandangan anda ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar