Kamis, 20 Agustus 2015

Menangkarkan Burung Jalak Bali; Sabar, Telatan dan Teliti Sebelum Membeli



Pertanyaan yang cukup sering mampir ke handphone saya baik dalam bentuk sms, WA maupun bbm adalah “Berapa harga sepasang indukan burung jalak bali yang telah produktif pak Syam ?” Terus biasanya saya jawab begini “Yang indukan di sayang-sayang . . . . jadi sayang untuk dijual mas, stok yang ada sekarang anakan makan vor kering. . . . . " Biasanya mereka melanjutkan “Wah kalau belinya anakan nunggu produksinya masih lama dong pak Syam ?”. Terus saya jawab,”Iya mas . . .masih lama.” 

Begitulah penggalan dialog yang sering terjadi antara saya dengan calon penangkar burung jalak bali. Dalam sebulan puluhan kali dialog serupa terjadi secara berulang-ulang.

Setelah dialog seperti itu saya sering berfikir tentang mereka. Saya menyebut mereka sebagai type penangkar burung “jalan pintas”. Mereka berharap dalam hitungan pekan sudah bisa memetik hasil dari penangkaran burung jalak balinya. 

Mereka berhitung begini; bukankah siklus produksi sepasang burung jalak bali berlangsung antara 4 sampai 5 pekan sekali ? Dengan demikian maka dengan membeli sepasang indukan produktif maka paling lama dalam waktu 5 pekan ke depan diaa sudah bisa menikmati hasilnya. 

Benarkah itung-itungan mereka ini ?

Di atas kertas, secara matematika bolehlah menghitungnya dengan hitungan seperti itu. Dan mereka tidak salah menghitung, karena memang siklus produksi sepasang burung jalak bali berlangsung antara 4 pekan sampai 5 pekan. 

Tetapi untuk mengatakan bahwa seorang penangkar jalak bali yang baru terjun selama satu bulan kemudian mendapatkan hasil seperti dalam hitungan di atas, saya belum pernah membacanya dalam sejarah penangkaran di Indonesia bahkan mungkin di dunia.

Memang kalau sekedar mengandalkan pada hitungan matematika, memang hitungannya masuk. Tapi ingat menangkarkan burung bukanlah soal cerita sebagaimana dalam pelajaran matematika. Kan menangkar burung tidak di lakukan di atas kertas dengan media tulis berupa pulpen to ? Menangkar burung dilakukan di alam nyata dengan media kandang dengan segala perangkat kebutuhan burungnya. Antara hitungan di atas kertas dengan kenyataan di kandang kerap kali berbeda

Tapi bukan berarti hitungan di atas salah sama sekali lo ya. Hitungan di atas kertas bisa diterapkan di dalam kandang namun syarat dan ketentuan berlaku. Jika berbagai asumsi yang mendasarinya dan persyaratan yang diperlukan terpenuhi maka hitung-hitungan tersebut akan bisa diwujudkan. Namun jika berbagai asumsi dan persyaratan tersebut tidak bisa dipenuhi maka hitungan matematika tinggalah sebuah deretan angka-angka tanpa ada maknanya  yang tentu saja hal hasil perhitungannya tidak ada kaitannya dengan hasil penangkarannya.

Penangkar burung bertype “jalan pintas” ini memang memiliki plus dan minus. Nilai positifnya dia potensial untuk menjadi pengusaha perburungan besar yang cepat berkembang. Karena orang seperti ini sifatnya tidak sabaran. Sehingga selalu memacu penangkarannya dalam kecepatan tinggi.

Nilai negatifnya dia potensial gampang patah arang, karena dunia penangkaran bukanlah dunia matematika yang bisa di selesaikan dengan kalkulasi sederhana. Dunia penangkaran burung dunia yang penuh warna dan berliku-liku. karena tidak sabaran dia mudah patah arang.

Maksudnya, dunia penangkaran adalah dunia yang penuh warna dan berliku-liku, apa pak Syam ?

Maksudnya ??? Lo . . .lo . . .kok ndadak pakai maksudnya barang ? Begini saja, saya kasih contoh saja ya. Dengan contoh ini semoga menjadi jelas apa yang saya maksudkan. Misalnya si A mau membeli indukan jalak bali. Dia pingin indukan yang sudah produktif, agar cepat memperoleh hasil. Bertanyalah dia ke kios penjual burung, “Om . . . ada indukan burung jalak bali produktif yang dijual ?” tanya si A kepada pemilik kios penjual burung. “Sebentar ya mas saya kontak teman saya dulu . . .dia penangkar top . .. . burungnya bagus-bagus,” jawab pemilik kios.

Setelah itu dia pencet-pencet hp, dan terjadilah dialog bisik-bisik dengan seseorang yang berada di seberang sana. Sejurus kemudian si pemilik kios bilang kepada si A  “Ada Om . . .indukan produktif . . . baguusss bangeeettt . . . dan harganya miring Om . . .”. Setelah itu terjadilah apa yang seharusnya tidak terjadi, yaitu transaksi burung jalak bali dengan berbumbu kecak manis yang berlebihan. Maka dibawa pulanglah burung jalak bali yang katanya indukan aktif itu. Gampang banget ya mendapatkan indukan aktif di pasaran ?

Padahal sependek pengalaman yang saya miliki “saya selalu sayang-sayangan” sama indukan burung jalak bali saya. Saking sayangnya kepada indukan burung jalak bali tersebut maka untuk menjualnya jadi sayang sekali. 

Bagi seorang penangkar burung jalak bali seperti saya, indukan burung ibaratnya adalah mesin produksi. Mesin ini setiap bulan memproduksi piyik untuk pemiliknya. Masak saya mau jual mesin produksi dengan gampangnya. Pabrik saya kan bisa tutup ? Iya toh ?

Terus kok ada orang yang menjual indukan burung jalak bali . . .hayo ?

Ooo . . .itu begini ceritanya. Mungkin si pemilik memiliki mesin produksi dalam jumlah yang berlebihan sehingga dia perlu mengurangi jumlah mesin produksinya. Saya kira juragan burung yang memiliki jumlah indukan yang melebihi kapasitas kandangnya jarang sekali. Jadi mendapatkan indukan yang produktif di pasaran tetap saja tidak gampang.

Atau kemungkinan kedua, ini terkait dengan kejahatan pasar. Haaaa . . .kejahatan pasar . . . apa maksudnya pak Syam ?

Maksudnya ??? Lo . . .lo . . .kok ndadak pakai maksudnya barang ? Gini . .. .saya kasih contoh lagi berdasarkan pengalaman saja juga . . . 

Saya sering menerima pengaduan lewat telepon. Si penelepon menceritakan kejadian yang dialaminya saat membeli burung jalak bali. Dia ketipu. Lah ketipu ? Iya dia ketipu. Dan sekarang ternyata bentuk penipuan itu bermacam-macam modusnya. Makanya ada pembeli yang tertipu karena sertifikatnya palsu, ada yang tertipu karena burungnya cacat, ada yang sudah transfer tapi ternyata burungnya tidak dikirim dan berbagai macam bentuk penipuan lainnya. 

Nah dari berbagai macam bentuk penipuan ini juga ada kemungkinan indukan yang sudah tidak produktif dibilang indukan masih seger top markotop. Bisa saja toh ? Makanya terhadap mereka yang pingin membeli indukan selalu saya sarankan untuk berhati-hati. Teliti sebelum membeli ! Tapi sayangnya orang-orang yang bertype penangkar “jalan pintas” ini, suka terburu nafsu. Mereka tidak teliti dalam membeli, sehingga mereka jadi gampang kecewa di kemudian hari. Patah arang . . .

Atau ceritanya kita balik. Sekarang taruhlah kita benar-benar beruntung karena terbebas dari penipuan dan mendapatkan indukan yang produktif. Apakah ini berarti untuk menjadi penangkar yang produktif sudah cukup ? Jawabnya "Belum Cukup! "

Saat kita sudah mendapatkan indukan yang benar-benar produktif masih dibilang belum cukup ? Kan kita sudah berhati-hati sebelum membeli sehingga bebas dari penipuan dan sekarang sudah mendapatkan indukan burung yang produktif ? Kok masih belum cukup sih ?? Heran deh . . .

Sabar . . .sabar . . .sependek pengetahuan saya, itu semua memang belum cukup. Masih ada satu lagi yaitu adaptasi burung di tempat yang baru yaitu di kandang kita.

Pengalaman menunjukkan bahwa indukan yang produktif di sana belum tentu produktif di sini. Indukan yang top markotop di tempat penjual, setelah kita pindah ke kandang kita bisa saja macet. Kok bisa ? Itulah kenyataan yang sering terjadi di lapangan eh . . . di kandang maksudnya.

Apa lagi kalau pindahnya sampai jauh, beda kabupaten misalnya. Umpamanya membeli indukan di Klaten terus dibawa ke Banjarnegara. Ini jelas potensial mengalami kesulitan dalam penyesuaian. 

Malah saya punya pengalaman memindahkan sepasang burung murai dari kandang di lantai satu yang adem karena posisi kandang dekat dengan sumur, kemudian saya pindah ke lantai dua yang agak panas. Ternyata sekitar dua pekan kemudian burung jadi mabung alias mbrodol bulunya.

Dalam literature ornitologi (ilmu tentang burung) dan teknik lingkungan, burung memang dikenal sebagai satwa yang sensitive. Pakar lingkungan menjadikan keberadaan burung di suatu tempat sebagai indicator baiknya lingkungan tersebut. Wilayah yang dihuni oleh berbagai spesies burung berarti tingkat polusi, cuaca, suhu kelembaban dan kebisingan lingkungan tersebut masih bagus. Jika terjadi perubahan pada aspek-aspek tersebut maka burung akan kabur ke tempat lain yang sesuai dengan seleranya.

Hal ini beda dengan ayam, kambing, sapi, kerbau dan lain-lain. Misalnya seekor ayam jago dibawa dari Jogjakarta ke Surabaya. Sesampainya di Surabaya begitu kita lepas di kebun beberapa menit kemudian melihat ayam betina, maka si betina langsung dikejar. Padahal ini jago dari Jogja yang terkenal sopan santun, ketemu betina Surabaya yang terkenal bonek . . . eee .. .langsung dikejar. Demikian juga dengan Kambing Solo yang dibawa ke Malang atau Sapi Bali yang dibawa ke Bogor. Mereka langsung akrab dengan betina setempat.

Hal ini tidak terjadi pada burung-burung di penangkaran kita. Karena burung dikenal sensitive dengan lingkungan. Dan kemampuan menyesuaikan dengan lingkungan ini juga sangat berpengaruh terhadap kemampuannya bereproduksi. Makanya jangan heran jika sepasang indukan produktif saat dibeli orang dan dipindah kandang, dia macet produksi.

Jadi sekali lagi membeli indukan mesti hati-hati. Telitilah sebelum membeli, sampai anda mendapatkan indukan yang benar-benar masih produktif. Setelah mendapatkan indukan yang produktif, anda harus telaten mengurus burung anda sampai dia berhasil adaptasi dengan baik ditempat anda.

Maka paling aman sebenarnya anda membeli burung dari anakan. Memang sih ada kerugian di mana untuk mendapatkan hasil kita memerlukan waktu yang lebih lama. Namun sebenarnya kalau kita cermati, lamanya waktu ini bukan sepenuhnya menjadi kerugian buat kita. Karena lamanya waktu memperoleh hasil ini, justru bisa mendidik kesabaran kita. Dan dalam menangkarkan burung, faktor kesabaran menjadi modal yang sangat penting. Dengan membeli burung yang masih berusia muda maka kita akan terdidik untuk menjadi sabar, telaten, bisa menambah ilmu dan pengalaman menangkarkan burung dan lain-lain.

Adapun keuntungan membeli burung yang masih berusia muda di antaranya bisa saya paparkan dalam uraian berikut ini;

Pertama burung bisa beradaptasi sejak dini. Semakin kecil burung yang anda beli akan semakin gampang untuk beradaptasi. Bahkan beberapa jenis burung yang dipiara sejak masih diloloh, dia akan menjadi jinak.

Kedua kita bisa menyiapkan indukan berkualitas sejak dini. Sependek pengalaman saya kualitas indukan berbanding lurus dengan kualitas perawatan. Semakin bagus perawatan maka dia akan menjadi indukan yang semakin berkulitas, demikian juga sebaliknya. Perawatan ini meliputi pemberitan pakan, vitamin, perawatan mandi, jemur dan perlakuan sehari-hari lainnya. Dengan membeli anakan kita bisa memaksimalkan perawatan. Dan hasilnya ? Indukan berkualitas.

Ketiga kita sudah mengenal karakter burung dengan baik. Sebagaimana kita ketahui bahwa setiap burung memiliki karakter sendiri yang berbeda dengan karakter burung lainnya. Demikian juga dengan kesukaannya terhadap makanan yang juga tidak selalu sama. Burung-burung yang sudah lama berada dalam pemeliharaan kita, biasanya karakter dan kesukaan makannya juga sudah bisa kita kenali dengan baik. Iya to ?

Ooo . . .begitu . . . jadi menangkarkan burung memang harus sabar ya . . .

Demikian sekelumit urun rembug dari saya, semoga bermanfaat bagi anda yang berminat menerjuni wira usaha menangkarkan burung, terutama burung jalak bali.
Salam Kicau . . .

Pak Syam
Penangkar Burung Jalak Bali Klaten
Hp. 081280543060


Senin, 03 Agustus 2015

Menikmati Hidup ala Tukang Burung ( Jalak Bali )

Pagi itu, saya punya janji untuk mengantarkan burung Jalak Bali pesanan seorang kicau mania di Pondok Rangon Cipayung Jakarta Timur. Dengan menumpang ojek kami melaju dari Pejompongan Jakarta Pusat ke Cipayung. Ini adalah perjalanan kedua setelah semalam saya menyelesaikan etape pertama dari Klaten menuju Jakarta dengan kereta api. Perjalanan yang cukup mengasikkan. Banyak hikmah yang saya peroleh . . . alhamdulillah.

 

 Pun saat sampai di tempat tujuan, banyak hikmah yang saya petik

 

Sesampai di rumah beliau, saya baru ngeh. Ternyata beliau pensiunan BUMN ternama yang tentu saja secara ekonomi sangat mapan. Menempati rumah baru di lahan seluas delapan ratusan meter persegi, cukuplah sebagai saksi atas kemapanan itu. Tak heran jika kandang burung yang disediakan untuk menyambut kedatangan burung jalak bali yang saya kirim, berukuran besar, ber-relief cantik dengan pancuran air yang gemericik. Rindangnya pohon belimbing berdiri kukuh di dalamnya dan dibalut dalam suasana Jakarta pinggiran yang masih menyisakan rasa damai secara nyata, membuat jalak bali yang baru saja saya lepas menjadi betah berada di kandang baru ini. Saya pun betah berlama-lama tinggal di sini.

 

 

Apa lagi tuan rumahnya sangat ramah layaknya orang kampong. Berbagai hidangan beliau sajikan, ada kolak pisang kepok kuning campur ubi dan kolang kaling ditambah aneka jajanan lebaran. Anggur segar dan buah kelengkeng juga turut menghiasi hidangan siang itu. Suasana yang santai membuat kami terlena hingga tak terasa hidangan itu ludes hamper separuhnya.

 

Di rumah besar ini beliau hanya tinggal berdua dengan istrinya. Karena ketiga anaknya sudah mapan dengan pekerjaan mereka masing-masing.

 

Saat saya tanyakan, apakah burung jalak bali ini kelak bakal ditangkarkan ? Beliau jawab dengan enteng, kalau mau nyarang ya syukur . . . kalau tidak ya nggak apa-apa . . . karena sebenarnya burung jalak bali ini hanya untuk klangenan ( hiburan ) saja . . .
Ya . . .beliau membeli burung jalak bali, yang utama adalah sebagai hiburan. Ini motif yang lazim di kalangan oran-orang yang secara ekonomi sudah mapan, kemudian mereka memasuki dunia kicau maniak untuk mengisi kegiatan hari tua.

 

Tentu saja motif ini berbeda dengan motif kicau maniak pada umumnya, saat membeli burung. Umumnya motif mereka adalah untuk ditangkarkan, agar memberikan manfaat ekonomi secara konkrit. Sebuah motif yang tentu saja sangat mulia. Tapi dalam kontek “kenikmatan hidup” keduanya memiliki lakon yang berbeda.

 

Sepulang mengantar burung ke rumah beliau, saya kepikiran tentang “nikmat Tuhan yang manakah yang hendak kamu cari lagi”. Pengembaraan pikiran ini makin memperjelas posisi kenikmatan hidup yang saya maksudkan dalam paragrap di atas.

 

Pikiran saya mulai mengembara memasuki lingkungan beliau. Adalah seorang pensiunan BUMN yang secara ekonomi tentu saja mapan, anak-anaknya juga sudah mapan dalam karier mereka masing-masing, tinggal di rumah besar dengan lahan yang luas. Siapapun saja orangnya, dalam kondisi seperti itu tentu tambahan penghasilan sebesar sepuluh juta atau lima belas juta rupiah dari penangkaran sepasang burung jalak bali, tambahan nikmat yang dirasakan tidaklah seperti yang dirasakan oleh para penangkar burung yang biasa main di kelas jalak-jalakan, apa lagi di kelas kenari lokal.

 

Bagi mayoritas penangkar burung yang berskala kecil penghasilan sepuluh juta atau lima belas juta rupiah, tentu bernilai cukup besar. Uang sebanyak itu bisa digunakan untuk mengepulkan dapur mereka sebulan, memenuhi kebutuhan sekolah anak dan membiayai banyak kenikmatan yang lainnya. Ya . . . uang sebesar itu telah mampu membiayai banyak kenikmatan hidup . . .

 

Hal ini tentu saja berbeda dengan rasa yang diperoleh oleh orang-orang yang sudah mapan itu. Seorang pensiunan menteri, mantan bupati atau walikota, anggota DPR yang memiliki tambahan penghasilan sebesar nominal di atas tentu saja tidak akan bisa member kenikmatan sebesar yang diperoleh penangkar kelas bawah.

 

 Dari situ pikiran saya mulai mengerucut; bahwa kenikmatan hidup sering kali kita rasakan pada saat kita masih merangkak, menggapai kebahagiaan hidup. Bukannya saat kita sudah mapan kelak. Itu yang saya rasakan.

 

Misalnya saat saya sudah harus membayar SPP anak saya, kemudian saya mendapatkan konsumen yang membeli burung jalak bali saya, saat itulah kenikmatan hidup ini terasa menjalar dalam relung hati ini. Saat saya berkeiningan untuk mengumrohkan ayah saya, kemudian Allah mengirimkan rejeki ke dalam kandang-kandang penangkaran saya. Saat seperti itu menyambut kehadiran piyik burung jalak bali menjadi tersa sangat nikmat. Kiriman rejeki di saat seperti ini tersa berpuluh kali lipat dibandingkan saat kita tidak dalam posisi membutuhkan pembiayaan dalam hidup.

 

Pengalaman-pengalaman seperti ini semakin menguatkan keyakinan saya bahwa yang namanya nikmat hidup itu harus kita hadirkan detik ini juga. Kenikmatan hidup tidaklah kita tunggu ketika kita kelak sudah hidup mapan. Tidak ! Kenikmatan harus kita hadirkan sekarang juga pada level di mana kita berada saat ini. Tak peduli kita saat ini berada dalam kondisi dan level apapun, kenikmatan wajib dihadirkan dalam hati.

 

Gak menunggu mapan ? Tidak. Sebab jika kita menunggu saatnya mapan, maka kemapanan itu akan meminta jenis maupun kuantitas dari variable nikmat yang berbeda. Jika kita kelak sudah mapan maka kenikmatan hidup mugkin hanya akan kita peroleh melalui nominal yang berlipat, melalui mobil yang berkelas, melalui wisata yang jauh ke ujung dunia. Uang yang hanya puluhan juta, mobil yang biasa-biasa saja, piknik ke ragunan tidak lagi mampu menghadirkan kenikmatan dalam hidup.

 

Begitulah pengalaman saya sebagai tukang burung. Kenikmatan hidup tidak harus menunggu kita memiliki berpuluh kandang dengan berpuluh indukan.

 

Kenikmatan hidup seorang professional tidak harus menunggu menjadi manajer, direktur ataupun kepala cabang. Kenikmatan hidup seorang birokrat tidak harus menunggu hingga menjadi kepala dinas, dirjen atau menjadi sekjen kementerian.

 

Sebagaimana kenikmatan hidup seorang santri juga tidak harus menunggu sampai dia berada di level kyai, kenikmatan hidup orang awan tidak mesti menanti sampai kelak dia berada di level ulama.

 

Itulah pikiran saya sebaga tukang burung, sederhana kan ? Bagaimana pandangan anda ?